• 32 •

40.7K 4.9K 1.1K
                                    

El mengerjap pelan. Ia mendongakkan kepalanya menatap Vano yang tengah tertidur pulas. Tadi malam itu, mengasyikkan sekali. Rasanya, dia tidak ingin berhenti tersenyum jika mengingatnya. Yah, walaupun dia harus masuk ke kamar lebih awal karena Vano tidak ingin ia begadang. Tapi, tetap saja. Dia juga makan lumayan banyak tadi malam.

Dan sekarang, ia haus. El segera menjauhkan tangan Vano yang melingkari tubuhnya, lalu menendang selimut agar tidak menutupi tubuhnya lagi. Setelah itu, bangun dari baringnya.

Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas dini hari. El segera beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar. Keadaan di luar sudah gelap. Pintu kamar tetap ia buka lebar untuk membantu penerangan di ruang makan. Ia mengambil gelas dan meletakkan gelas itu di atas meja. Lalu, menuang air putih ke dalamnya. Kemudian, barulah mengambil gelas itu untuk diminum.

'Kalo minum itu ngga boleh berdiri!..'

Matanya kembali mengerjap, dan melirik Vano yang memang terlihat dari pintu kamar. Ucapan pemuda itu terngiang di kepalanya tiba-tiba. Ia pun menarik salah satu kursi makan dan mendudukkan dirinya di sana, barulah menenggak air putih itu.

"Haaah.."

Gelas yang sudah kosong, ia letakkan kembali ke atas meja. Lalu, bertopang dagu. Menatap dinding yang berada di depannya dengan datar.

Seandainya...

...Seandainya saja, dia tidak bertemu dengan Alvano di gang waktu itu, apa yang akan terjadi padanya sekarang? Apakah dia akan hidup? Atau jangan-jangan, nyawanya tak terselamatkan, dan yang bisa ia lakukan hanya menyesal di akhirat sana?

"Yah.." El mendesah pelan, dan berdiri, "Gue mikirin tentang itu sesering apapun juga ngga bakalan ngerubah apa-apa. Bego," gumamnya.

Ia segera melangkah menuju kamar, "Kayak yang Alvano bilang, mending gue bersyukur aja lah karena masih hidup," gumamnya lagi.

Saat berada di ambang pintu, El berhenti. Kepalanya menoleh menatap kucing hitam kesayangannya yang tengah duduk tak jauh dari pintu kamar sambil menatapnya. Lagian, sejak kapan coba ini kucing duduk di situ?

"Masuk, sini," ujar El. Poppy masih menatapnya. Tak bergerak sama sekali.

Dahi El mengerut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya, "Sini, Pop. Poppy~"

Poppy menjilat kaki depannya pelan.

El mencebik. Merasa diabaikan, "Makin lama, lo makin sering ngacangin gue, ya. Ini pasti karena lo kebanyakan main sama Jeje. Oi, jangan lupa, gue tuan lo," gerutu El. Seingatnya, dulu saat di apartemen, Poppy selalu langsung menghampirinya tiap kali El memanggil. Kenapa begitu tinggal di sini dia berubah?

"Atau jangan-jangan, ini ajaran dari kucing sebelah? Iya, kan? Pasti iya. Kurang ajar. Mentang-mentang udah kawin, seenaknya aja ngatur-ngatur. Ini pasti karena lo seganteng yang ada di mimpi gue, Pop. Makanya, dia posesif sama lo. Mending kalian cepetan cerai sekarang, berhubung dia belum bunting. Hubungan kalian mulai ngga sehat."

"El, lo ngapain?" Suara serak itu menarik perhatiannya. El menoleh. Mendapati Vano yang masih ngantuk berat, tengah menatapnya dengan mata sayu.

"Ngobrol sama Poppy."

Vano mendesah pelan dan mengusap wajahnya, "Ngobrolnya besok aja. Sini tidur."

El menurut dan berdiri. Ia kembali menatap Poppy, "Mau masuk ngga lo?" tanyanya sebal. Keempat kaki berbulu itu segera bergerak melangkah masuk. El mencibir melihatnya. Lalu, menutup pintu kamar.

Ia pun melangkah menuju ranjang, dan naik dari sisi tubuh Vano. Lalu, duduk di atas kedua kaki pemuda tinggi itu sejenak.

"Vano.."

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang