Bonus singkat karena rindu

28.5K 3.1K 335
                                    

"Jangan sentuh.."

"Sudah cukup."

"Jangan pergi."

"Jangan tinggalin gue."

"Al.. va.. no.."

"Va.. no.."

"Vano."

"Gue cacat."

"ALVANO, GUE CACAT!"

Kedua mata Alvano sontak terbuka lebar. Dadanya naik turun dengan cepat. Keringat membasahi baju serta menuruni pelipis. Jantungnya berdebar kencang. Dengan susah payah, ia menelan ludah.

Ini sudah yang kesekian kalinya, Vano memimpikan hal-hal seperti ini. Sejak kejadian dimana ia melihat El melompat dari balkon apartemennya, Vano terkadang bermimpi tentang peristiwa itu. Awalnya hanya sesekali. Sangat jarang. Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini mulai sering muncul.

Manik cokelatnya begulir menatap El yang tengah tertidur nyenyak. Lalu, memeluknya erat. Vano sangat takut. Dia tidak ingin kehilangan El. Dengan lembut, dahi itu dikecupnya. Lalu, mengelus helaian rambut cokelat itu.

Akhir-akhir ini, interaksi diantara mereka sangat minim. Vano sibuk mempersiapkan acara dies natalis fakultasnya. Mungkin, ini salah satu penyebab, mengapa mimpi-mimpi itu muncul dengan intensitas lebih sering.

Rasa cinta diantara mereka, memang tidak semenggebu dulu lagi. Tapi, mereka tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menikmati tiap detik yang dilalui bersama. Karena mereka pernah nyaris dipisahkan maut. Dan mereka tidak ingin ada penyesalan jika maut datang lagi secara tiba-tiba. Mereka tidak ingin ada pertengkaran bodoh yang membuang-buang waktu. Cukup menganggap, seolah hari ini adalah hari terakhir mereka berdua, maka semuanya akan baik-baik saja.

"I love you, El," bisik Vano pelan. Pelukan mereka, ia lepas dengan lembut. Lalu, beranjak dari ranjang, dan melangkah keluar. Bisa ia lihat, Poppy yang tengah bergelung di pojok dapur. Entahlah. Semakin lama, kucing itu semakin sering tidur di sembarang tempat. Tidak di bantal khusus miliknya lagi.

Kedua kaki Vano melangkah menuju ruang tengah. Keheningan menemaninya dengan setia. Ia mendudukkan diri di sofa, dan menatap televisi yang mati dalam diam. Jantungnya masih berdebar tak beraturan. Rasa takut belum hilang sepenuhnya.

Punggung ia sandarkan. Mencoba untuk rileks agar lebih tenang. Kedua matanya menatap ke segala arah. Melihat lebih rinci barang-barang yang ada di ruangan tersebut. Hingga rak bukunya mulai menarik perhatian. Lebih tepatnya, susunan buku pribadi El yang berwarna-warni.

Walau Vano yang membelikan buku-buku tulis itu dengan rajin, serta menyusunnya hingga rapi, namun tak sekali pun ia pernah membaca isi tulisan kekasihnya. Dengan perlahan, Vano beranjak. Melangkah mendekati tempat penyimpanan itu. Jemarinya mengambil buku bersampul putih yang berada di urutan paling pertama. Buku yang memulai segalanya. Pemberian dari Lara.

Sampul itu ia buka. Vano tidak menyangka, halaman pertama buku ini hanya berisikan coretan-coretan abstrak. Benang kusut yang entah di mana awalan dan akhirannya. Ketika lembaran itu ia balik, hal yang sama kembali ia dapatkan. Berulang kali, hingga ia sampai ke bagian tengah buku.

'Gue bingung.'

Hanya dua kata itu yang muncul, setelah begitu banyak benang kusut yang ia buat. Lalu, di halaman selanjutnya, berisi satu garis panjang yang tidak lurus. Dan garis panjang itu terus muncul di halaman-halaman selanjutnya. Hingga akhirnya, ia sampai di halaman terakhir.

'Nama gue Daniel. Lahir 1 Mei xxxx.

Sampai detik ini, gue bingung sama apa yang harus gue tulis. Seharusnya, buku ini berisikan 'daftar bahagia' gue. Tapi, gue masih belum ngerti. Gue ngga tau. Dan gue ngga terbiasa untuk nulis kayak begini.'

Vano tersenyum tipis. Apalagi ketika menemukan kembali coretan-coretan setelah paragraf tadi. Lalu, dibawah coretan itu, dilanjut dengan tulisan.

'Satu hal yang gue tau.

Suatu saat nanti, buku-buku ini, pasti bakalan penuh dengan nama 'Alvano'.'

Perasaan hangat, langsung menyelimutinya. Vano tidak sanggup menahan senyum lebar yang muncul. Kenapa El semanis ini? Dan, oh? Apa ini? Ada tulisan kecil yang miring di ujung kertas.

'Alvano milik gue.'

Kekehan keluar dari bibirnya. Ya, ya, ya, dia memang milik Daniel. Dan akan selalu menjadi miliknya.

Buku putih itu, ia tutup dan ia letakkan kembali ke tempat semula. Dia mengerti, dulu, El bukanlah orang yang bisa menjelaskan perasaannya. Dia lebih suka memendam segala sesuatu. Dan ketika ia diminta untuk menuliskan hal-hal bahagianya, pasti itu sangat sulit.

Buku bersampul abu-abu muda yang berada di samping buku putih tadi, Vano ambil. Setelah itu, membukanya. Lagi-lagi, Kedua alis Vano dibuat naik karena tidak menemukan satu pun tulisan di sana. Tidak ada pula coretan-coretan seperti di buku sebelumnya. Lembaran demi lembaran ia balik. Namun, hingga di halaman terakhir, buku itu bersih. Kosong.

Benda itu Vano letakkan kembali, dan langsung mengambil yang warna merah. Urutan buku selanjutnya.

'20 Januari 20XX.

Gue tau, ini semacam diary dan sebagainya. Tapi, gue canggung mau nulis hal yang gue rasain di sini. Gue... malu?'

Malu? Dia malu sama siapa? Halaman itu dibalik.

'21 Januari 20XX.

Oke. Banyak kebahagiaan di sekeliling gue. Mungkin.

1. Orly--'

Hanya sebatas itu, karena kelanjutannya El coret-coret hingga tak berbentuk. Dilihat dari garisnya yang kasar, dia pasti kesal. Pada dirinya sendiri. Anak itu sungguh punya masalah yang serius untuk mengungkapkan perasaannya lewat tulisan.

Vano terkekeh pelan. Melihat lembar demi lembar, yang berisikan progres tulisan Daniel. Lucu sekali. Walau terkadang masih dikotori dengan coretan-coretan sebal, ia tetap bisa melihat kemajuan dalam tulisan itu.

Hingga perlahan-lahan, coretan itu mulai menghilang. Dan buku-buku ini hanya diisi dengan tulisan. Vano tersenyum lembut. Apalagi ketika menemukan, bahwa Elnya mulai bisa merasakan bahagia dari hal-hal kecil. Seperti, usapan pelan di pipi. Atau sekadar genggaman tangan. Obrolan-obrolan ringan. Waktu yang dihabiskan bersama walau tanpa ada pembicaraan.

Lama kelamaan, tidak hanya 'bahagia' di dalam buku-buku ini. Namun, juga keluh kesahnya. Kekhawatirannya. El sungguh membuatnya menjadi seperti diary. Dan ia menonjolkan sudut pandang, bahwa ia dicintai. Ia diinginkan oleh orang lain. Dia berguna.

Vano sungguh tak dapat berhenti tersenyum. Buku-buku itu, ia rapikan. Lalu, memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Mendapati El tengah terduduk dengan ekspresi ngantuk berat.

"Dari mana?" tanyanya dengan suara serak.

Tubuh itu Vano tarik untuk ia peluk. Membaringkan tubuh mereka. Mengecupi dahi, pipi, hidung, serta bibirnya dengan manis. Membuat kernyitan bingung muncul di dahi El.

"Kenapa sih?" tanyanya.

Pancaran bahagia terlihat jelas di wajah Alvano.

"Abis mimpi basah, ya?"

"Woi, ah!" decak Vano. Dia tidak akan sebahagia ini jika habis mimpi basah.

El tertawa.

Membuat senyum Vano kembali terbit. Kekasihnya sangat menggemaskan. Pelukan di tubuh itu, ia eratkan.

"Ssshhh... tidur lagi, tidur lagi."

"Vano.."

"Hm?"

Mereka bertatapan sejenak. Lalu, El menggelengkan kepalanya. Ia menelusupkan wajah di perpotongan leher itu, dan menyamankan posisinya. Punggung diusap-usap lembut. Menarik rasa kantuk. Hingga membuatnya kembali tertidur.

Selesai.

Edisi kangen.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now