• 26 •

42.2K 5.6K 1.4K
                                    

"Nama saya Lara. Saya teman Zhri-Orly. Nama kamu siapa?"

El menatap Vano yang duduk di kursi di dekatnya dalam diam. Sebelah alis Vano terangkat.

"Mau minum," ujar El pada pemuda besar itu. Vano mengerjap, lalu melirik wanita yang berbicara di dekatnya tadi. El benar-benar mengabaikan wanita itu.

Ia berdecak pelan dalam hati dan mengambilkan air putih untuk El terlebih dahulu, lalu setelah dirasa El memegang gelasnya dengan benar, Vano mengulurkan tangannya ke Lara.

"Saya Alvano," ujarnya memperkenalkan diri.

"Ah, saya Lara."

Dahi El mengerut. Ia menyesap air bening itu dalam diam. Setelah itu, mengulurkan gelas tadi ke Vano lagi.

Pemuda itu melepaskan tautan tangannya dengan Lara, dan mengambil gelas yang diulurkan oleh El.

"Ada yang bisa saya ban-"

"Gue mau liat novel yang lo bawa."

Ucapan Vano yang tertuju untuk Lara, dipotong oleh El. Vano mengerjap, lalu mengambil novelnya yang berada di atas meja, dan memberikannya ke El.

"Jadi, ada yang bisa saya ban-"

"Nih, ngga jadi. Ngga menarik."

Omongannya dipotong. Lagi. Dan demi apapun, El baru memegang buku itu. Vano yakin sekali, pemuda kecil itu bahkan tidak membaca judul bukunya.

"Seru kok. Coba aja baca."

"Ga mau."

Vano terdiam sejenak, lalu mengangguk, dan mengambil bukunya itu. Ia menatap Lara, dan tersenyum meminta maaf. Lara hanya menanggapinya dengan senyum kecil, seolah memahami keadaan yang sedang terjadi.

"Kalau saya boleh tau-"

Lengan bajunya ditarik pelan, "Ternyata langit-langit kamar ini bagus juga ya, Van."

Vano menatap bingung ke arah El yang sedang mendongak melihat langit-langit. Tidak ada yang menarik dari langit-langit itu. Catnya putih polos. Tidak ada apapun di sana. Jadi, apanya yang bagus?

"Iya, bagus," Tapi, ya tetap saja, Vano akan mengiyakan perkataan pemuda kecil itu.

Lara menggaruk lehernya sekali. Sangat paham, bahwa pemuda yang tengah menyandar di atas ranjang rumah sakit itu, tak menginginkan keberadaannya. Lara mengaku, dia memang bukanlah seorang psikolog yang handal. Dia baru memasuki dunia itu. Masih newbie. Tapi, ini semua untuk Orly. Lara tidak mau dicincang habis oleh pria itu hanya karena ia menolak untuk 'menyembuhkan' anak angkatnya.

Tidak, terima kasih.

Dia masih ingin hidup. Dia belum menikah dan punya anak.

"Sepertinya, saya datang disaat yang ngga tepat?" ujar Lara.

Vano menatapnya dengan tak enak hati, "Ah, enggak kok, El cuma-"

"Vano," si kecil itu menatapnya, "Dorabita atau Piglet the Pooh?"

Hah? Oke. El mulai konyol. Tapi, Vano senang, sih. Maksudnya, kapan lagi kan dia bertingkah seperti ini. Jadi, ya, nikmati saja.

"Pooh," jawab Vano sambil tersenyum kecil.

El mengangguk, "Pooh memang lucu dan menggemaskan, sih," gumamnya pelan.

Lo lebih menggemaskan, Alvano mengucapkan itu di dalam hati tentu saja.

Lara kembali menggaruk lehernya. Kenapa Orly memilihnya untuk melakukan ini, sih? Kenapa bukan psikolog berpengalaman yang pernah menangani El dulu? Kenapa harus dia yang newbie?

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now