• 34 •

43.4K 4.7K 745
                                    

"Feels good, huh?" bisik Vano pelan. El mengangguk dengan wajah memerah. Tangan kirinya menyentuh telinga Alvano, lalu mengusap lehernya.

"Cium lagi," balas El pelan.

Vano memaki dalam hati. Dia harus tetap sadar. Dia tidak boleh terbawa nafsu. Dia tidak boleh kelewatan. Pelan-pelan. Dia harus lembut.

"Alvano.."

Vano mengecup bibir itu. Menjilat bibir bawahnya, lalu kembali menerobos masuk ke dalam rongga hangat tersebut. Kali ini, lidah El ikut bermain. Balas membelit lidahnya, atau mendorong keluar daging tanpa tulang itu.

Tangan kirinya, melingkar di leher Vano. Menahan kepala itu agar tidak menjauh darinya.

Kedua tangan Vano masuk ke dalam baju El. Mengusap kulit putih itu dengan seduktif. Menyentuh bekas lukanya, atau menyentuh sekilas tonjolan yang ada di dada tersebut.

"..hngh!.."

Vano melepas paksa tautan bibir mereka. El merengut manis. Vano tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak menyeringai. Baju El, ia tarik lepas ke atas dan melemparnya entah ke mana. Lalu, mendorong tubuh itu hingga berbaring.

"Vano.. lebih dekat.." tangan kiri El terulur untuk kembali memeluk si tinggi itu.

Vano menelan ludah. Bajunya ikut ia buka karena panas. Lalu, menumpukan kedua tangannya di sisi kepala El dan menciumnya kembali.

"..ngh.. jangan jauh-jauh.. hah.." bisik El di depan bibir Vano. Tangan kirinya memeluk punggung tegap itu. Sesekali, kuku jari El menggores kulitnya, yang malah membuat Vano tergiur untuk membuat El semakin berantakan.

Kecupan Vano turun ke leher. El refleks mendongak. Kulit putih itu ia gigit pelan. Gemas ingin membuat tanda merah di sana. Tangan kiri Vano mengusap dada El dengan gerakan memutar, sementara tangan kanannya menyelip perlahan ke balik punggung dan bergerak ke bawah. Masuk ke dalam celana yang El pakai, dan saat jemarinya menyentuh belahan yang ada di sana, tubuh kecil itu menegang.

Merah di wajahnya langsung menghilang. Kedua mata itu menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang mengerikan.

Dan Vano tau, dia harus berhenti sekarang. Ia mengeluarkan tangannya dari dalam celana El dengan perlahan tanpa memutus kontak mata. Tangan kirinya terulur ke kepala El dan mengusapnya pelan.

"El.." Vano memanggil lembut, "Maafin gue."

Ekspresi tegang El, langsung melunak. Ia menghembuskan napas pelan, dan membaringkan kepalanya dengan lemas. Menoleh menatap jendela yang gordennya belum tertutup. Lalu, beralih menatap Vano yang menatapnya khawatir.

"Vano, peluk," gumam El pelan.

Alvano segera melakukan yang El minta. Memeluk tubuh itu dan mengusap rambut cokelatnya dengan lembut.

"Maafin gue."

El menggeleng pelan. Menurutnya, di sini dia juga salah karena 'menggoda' pemuda tinggi itu. Apalagi saat merasakan sesuatu yang keras, menyentuh miliknya di bawah sana. Vano pasti menderita sekali.

Pemuda tinggi itu mendudukkan dirinya. El menumpukan tubuhnya dengan siku kiri, dan menatap celana Alvano. Tuh, kan, menggembung. El jadi makin merasa bersalah melihatnya.

"Lo gapapa?" tanya El.

Sebelah alis Vano terangkat, "Emang gue kenapa? Seharusnya, gue yang nanya gitu. Lo gapapa?"

El segera mendudukkan dirinya. Setelah itu, menunjuk ke arah celana Vano dan bertanya lagi.

"Lo gapapa?"

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now