Special

26.7K 2.4K 551
                                    

Chapter ini saya buat ketika saya membayangkan apa yang akan terjadi jika Daniel dan Vano tidak bertemu seperti di chapter-chapter awal. Apa yang akan terjadi jika Vano tidak melihat Daniel memungut Poppy. Jika Vano tidak terpesona pada Daniel. Dan jika Vano tidak menolong Daniel di gang waktu itu.

_______________________________________________

"Akh!"

Tubuh ringkih itu terengah kesakitan. Telapak tangan kanannya menekan luka di perut bagian kanannya agar tidak mengeluarkan darah terlalu banyak. Punggungnya menyandar lemas. Kedua mata terpejam. Rasa ngilu di beberapa bagian tubuh ia coba abaikan.

El harusnya terbiasa.

Hanya saja, sabetan cutter pada perut kanannya kali ini, tampak sedikit lebih dalam dari biasanya. Setelah mengatur napas sejenak, ia mencoba untuk berdiri. Ringisan kembali keluar dari bibirnya. Ia berjalan pincang keluar dari ruangan itu. Sebelah matanya tertutup ketika merasakan ada cairan yang mengalir melewati mata dan menetes dari dagu.

Darah.

Tangan kirinya menyentuh dahinya dan berjengit ketika merasakan sakit. Ia mengusap lelehan darah itu dan kembali melangkah. Sebelah tangannya sesekali bertumpu pada dinding. Tak mempedulikan darah yang menempel di tangan itu mengotori dinding tersebut.

Ia hanya ingin pulang. Membersihkan diri, mengobati luka-lukanya, lalu beristirahat.

El lelah.

Tubuh, hati, serta pikirannya sudah letih. Ia memaksakan dirinya untuk tetap sadar hingga sampai di apartemen. Darahnya keluar terlalu banyak. Kepalanya sudah berputar sedari tadi. Begitu pintu tempat tinggalnya ia tutup, tubuhnya terjatuh. Pengelihatannya mengabur.

Ia bisa mendengar meongan Poppy. Sundulan pelan kucing itu di tubuhnya. Namun, ia sudah tidak sanggup. Kedua matanya menutup. Membiarkan kesadarannya perlahan menghilang.

El tidak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri. Ketika ia membuka kedua matanya, hanya gelap yang menyambutnya. Tubuh ia paksa bergerak. Lalu, meringis saat merasakan ngilu. Poppy yang bergelung di sampingnya terbangun. El menghidupkan lampu. Lalu, melangkah perlahan menuju kamarnya.

Pakaian kotor yang melekat di tubuh, segera ia lepaskan. Lagi, ia meringis. Luka hari ini lebih parah dari biasanya. Ia melirik jam yang menempel di dinding dan menunjuk pukul tiga lewat seperempat. El segera membersihkan diri, barulah merawat luka-lukanya. Memang hanya seadanya saja, tapi dari pada dia harus pergi ke rumah sakit. El akan lebih memilih untuk mengobati sendiri.

Untungnya tidak ada luka yang harus dijahit. Sabetan cutter di perutnya sepertinya tidak perlu dijahit. Luka pada dahinya juga. Memar di beberapa bagian wajah. Ujung bibirnya yang sedikit sobek. El menghela napas.

Setelah selesai, ia membaringkan tubuhnya dengan perlahan di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar dalam diam. Mencoba untuk menikmati denyut-denyut nyeri di wajah dan di bagian tubuh lain.

Suara napasnya dapat ia dengar. Tangan kiri El naik dan menyentuh dada kirinya. Merasakan detakan jantung di sana. El memejamkan kedua mata. Merasakan ranjangnya dinaiki oleh Poppy. Lalu, kucing itu kembali bergelung di sampingnya.

Mata itu kembali terbuka. Menatap kucing hitam tadi dan mengelusnya dengan lembut.

El sudah memutuskan.

"Maafin gue."

******

"Namanya Poppy."

Diran mengangkat wajahnya. Lalu, tersenyum lembut. Kucing hitam yang kini berada digendongannya, ia elus.

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang