• 11 •

41.3K 5.7K 475
                                    

Dia tidak ingin dihukum lagi. Oleh karena itu, dia mati-matian berusaha agar masakannya enak. Berusaha agar bisa membersihkan rumah dengan baik. Berusaha untuk terus menjadi anak penurut.

Tapi, mau enak ataupun tidak, bersih ataupun kotor, dia tetap akan dihukum.

Wanita itu selalu mengetahui kesalahannya, dan terus menenggelamkannya, di lumpur hitam bernama dosa.

•••••

El hanya bisa tidur selama dua jam saja. Mimpi buruk yang terus menghantuinya akan kenangan masa lalu, tak bisa hilang dari ingatan. Jadi, yang ia lakukan untuk menghabiskan malam, hanya duduk diam sambil memeluk dirinya sendiri. Mencoba untuk tidak melakukan apapun pada tubuhnya yang menjijikan, tapi tidak bisa. El terlalu benci pada dirinya sendiri.

Lalu, saat jam telah menunjukkan pukul empat pagi, barulah ia keluar dari kamar.

Alvano masih terlelap di atas sofa panjangnya. Posisi tidur pemuda itu terlihat menyakitkan di mata El, karena tingginya yang berlebih. Apalagi, El tidak memberi bantal pada pemuda itu. Bisa ia lihat, sesekali dahi Vano mengerut entah karena apa. Tubuhnya meringkuk. Hujan baru berhenti pukul satu dini hari. Pasti dingin sekali tidur di sofa tanpa selimut.

El masuk ke kamarnya lagi. Mengambil selimutnya, dan membawanya keluar. Setelah itu, menyelimuti tubuh Vano dengan asal. Lalu, masuk ke kamar mandi.

Ia memerlukan waktu lima belas menit untuk membersihkan tubuhnya. Mengambil handuk yang kemarin Vano gunakan, lalu mengintip ke luar. Memastikan si pemuda besar itu masih terlelap dengan nyenyak, agar ia bisa keluar.

Dia lupa membawa seragamnya ke dalam kamar mandi. Ugh, lain kali, ingatkan dia untuk membawa benda itu.

Setelah berpakaian rapi, ia mulai membereskan tempat tidur. Setelah itu, sibuk mencari kunci duplikat apartemennya. Lupa, ia simpan di mana benda kecil itu.

Kalau tidak salah, terakhir dia melihatnya, beberapa tahun lalu. Saat ia pertama kali, masuk ke apartemen ini. Yah, dia tidak pernah kehilangan kunci apartemennya. Jadi, El selalu merasa bahwa kunci duplikat itu tidak terlalu penting dan asal menaruh.

Ia keluar dari kamar. Berkacak pinggang dan menatap Vano dengan dahi mengerut.

"Gue simpan di mana ya?" tanyanya pelan pada diri sendiri. Lalu, bersedekap dada.

"Oke, kita kembali ke empat setengah tahun yang lalu," gumamnya lagi. Kakinya berjalan ke pintu apartemen.

"Gue masuk, bareng Orly. Terus, berhenti di sini," gumamnya sambil beranjak ke tempatnya semula di depan Vano.

"Terus, kita ngobrol. Si Orly kasi kunci," ia memperagakan orang yang sedang memberi sesuatu, "lalu, gue ambil," posisinya berubah menjadi orang yang menerima.

"Lalu, gue nanya 'kok dua?', terus kata Orly, 'buat jaga-jaga kalo yang satu ilang'. Terus..." dahi El mengerut, mencoba untuk mengingat-ingat, "gue masukin ke saku baju. Si Orly pulang. Habis itu, gue beres-beres."

Lalu, dia terdiam. Berpikir, "masa iya, masih di baju gue yang dulu?"

Ia kembali masuk ke kamar. Membuka laci-laci nakas yang ada di sana, dan mencarinya dengan teliti. Lalu, membuka lemari, dan membuka lacinya.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now