• 9 •

43K 5.6K 459
                                    

Dokter muda itu menghampirinya dengan panik, dan merampas gunting yang berada di tangannya. Rambut cokelatnya berantakan. Helaian-helaian yang telah terpotong, berserakan di lantai. Beberapa ada yang terbang tertiup angin dari jendela.

Manik birunya yang kosong, menatap dengan datar.

"Jangan lakukan itu lagi! Berbahaya!" seru Dokter itu. Ia terengah. Raut khawatirnya begitu kentara.

Si kecil itu hanya diam. Tak membalas apapun dan hanya menatap pantulan dirinya dari cermin yang ada di kamar itu.

Tidak ada lagi rambut panjang yang mengganggu itu. Tidak ada lagi rambut panjang yang biasa disentuh oleh wanita jalang tersebut. Atau pun yang biasa ditarik oleh para 'pelanggan'nya. Begini lebih baik.

Namun, ada satu hal yang menganggunya.

Satu hal yang juga terpantul di cermin itu.

Ekspresi khawatir sang Dokter.

Ah, memuakkan sekali.

•••••

Bara terus menemaninya, hingga ia keluar dari rumah sakit dua hari kemudian.

Dia masih belum boleh untuk melakukan aktivitas berat selama lima hari kedepan, dan diharuskan untuk istirahat penuh. Dia juga diminta untuk check up ke Dokter selama beberapa kali. Tapi, tentu saja El tidak akan melakukannya.

Bara mengantarnya pulang. Begitu sampai, pemuda kecil itu langsung berjalan masuk tanpa mengatakan apapun.

"Oi!"

Ia menoleh. Bara mengangkat sebuah kresek putih yang berisikan obat untuk ia minum. El mendesah tak senang. Dengan raut menekuk, si pendek itu kembali mendekat ke Bara dan mengambil kresek tersebut.

Bara menahan lengannya.

"Istirahat, dan makan obatnya. Lo kira gue ngga tau tabiat lo yang suka buang-buang obat dulu, hah?"

Pemuda cokelat itu hanya berdecih, dan menepis tangan Bara. Lalu, kembali berjalan masuk ke dalam bangunan tua tadi.

Dalam hati, ia menggerutu. Obat dan sejenisnya adalah hal yang paling ia benci-selain rumah sakit dan dirinya sendiri, tentu saja-. Sangat sangat benci. Jadi, sebisa mungkin ia menghindari benda kecil yang rasanya pahit itu.

Ia sampai di depan pintu apartemen. Tangan kanannya merogoh saku celana untuk mengambil kunci, tapi tidak kunjung ketemu.

Ah, great.

Kunci apartemennya masih di tangan Bara. Tsk.

Ia bermaksud untuk kembali turun dan memalak kunci apartemennya pada pemuda mohawk itu, tapi ternyata sedari tadi Bara mengikutinya. Lihat gaya congkak menjijikannya itu. Dengan bibir yang tersenyum miring dan tangan yang bersedekap dada, serta bahu kanan yang menyender di dinding koridor.

"Lupa sesuatu?" tanyanya.

"Balikin kunci gue, setan," ujar El kasar.

"Ah, lo ngga ada manis-manisnya, Daniel," gerutu Bara, "padahal dulu lo santun banget kalo ngomong sama gue."

Raut El berubah. Dia tidak suka jika seseorang membicarakan tentang 'dia' di masa lalu.

"Kunci gue," todong El.

Bara merogoh sakunya dan memberikan benda kecil itu dengan enggan. Tapi, dia cukup peka dengan suasana hati El yang berubah tiba-tiba itu.

Si pendek mengambilnya, lalu segera membuka pintu.

Happiness [SELESAI] ✔Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz