Bonus ++++++

30.5K 2.6K 580
                                    

Rencana mereka untuk berkencan berdua di apartemen, kandas. Teman-teman Alvano merusuh sedari siang tadi. Sebenarnya, tidak buruk juga sih, karena suasananya jadi lebih ramai dan menyenangkan. Tapi, tetap saja, Alvano sebal karena tidak bisa sentuh-sentuh El lebih dalam. Apalagi, keempat anak manusia ini tidak tahu akan pulang kapan. Menyebalkan. Tapi ya sudahlah, El juga tidak protes.

"Mei, lo ngga apa-apa di sini lama-lama? Ngga dicariin?" Koko menatap satu-satunya anggota perempuan digrup pertemanan mereka. Pasalnya, hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi, matahari akan terbenam seutuhnya. Diganti oleh malam yang telah menunggu lama.

Mei hanya melirik sekilas tanpa menghentikan tangannya yang tengah asik menggambar, "Ngga. Orang tua gue jarang pulang. Dari pada sendiri di rumah, mending gue di sini."

Nyaris empat semester telah mereka lalui bersama. Walau beberapa kali terpisah karena kelas yang berbeda, namun kelompok pertemanan mereka tidak terpengaruh sama sekali. Apartemen Vano tetap menjadi basecamp mereka. Lagi pula, si pemilik apartemen juga tidak pernah protes. Dia lebih senang mereka berkumpul di sini dari pada harus keluar dan meninggalkan El sendirian.

"Oh, gue baru inget, lo anak tunggal," celetuk Chikal.

Mei mengangguk mengiyakan, "Lagian, kalo mereka di rumah juga, gue males."

"Kenapa?"

"Mereka sering berantem. Males gue."

Lima orang lelaki yang berada di sana terdiam. Mereka memang sudah bersama nyaris dua tahun. Namun, mereka belum terlalu mengetahui tentang satu sama lain. Tidak ada yang pernah bertanya masalah pribadi masing-masing, dan tidak ada juga yang ingin bercerita secara terus terang. El --satu-satunya orang yang duduk di atas sofa-- menunduk menatap Vano yang tengah bersandar di kaki sofa tepat di depannya. Lalu, melirik Bayu yang berdehem.

"Ngomong-ngomong, lo ngga mau nyari temen cewek, Mei? Bukannya gue ngga suka lo sama kami, cuma mungkin... lo butuh temen ngobrol yang kami --para cowok ini-- ngga bisa ngerti?" tanya Bayu.

Gerakan tangan Mei berhenti. Dahinya berkerut karena memikirkan hal itu. Lalu, menggeleng, "Gue lebih nyaman sama kalian. Gimana ya.. kita kalo ngumpul memang kadang isinya cuma bercanda, atau sekedar ngobrol, tapi pasti lo Bayu, atau lo Vano, selalu nyelipin pembicaraan tentang hal-hal yang gue baru tau. Dan itu lebih berguna dari pada gue ngumpul dan isinya gosip ngga penting sama anak cewek di kelas. Gue punya temen cewek kok, tapi gue nyamannya sama kalian. Wawasan gue bisa luas gitu loh tanpa gue sadari."

Chikal menjentikkan jarinya, "Gue setuju," ujarnya, "Terus juga, kalian ngga pelit ngasi informasi. Lo-lo pada taulah, kadang ada orang pinter yang pinter untuk diri sendiri. Ngga mau bagi-bagi. Tapi, kalian mau ngejelasin materi-materi yang gue ngga ngerti, sampe gue ngerti. Sori aja, tapi gue selalu nyari temen yang memang punya manfaat buat gue. Bukan cuma sekedar... temen. Ngerti ngga?" tanya Chikal. Takut kalau bahasanya terlalu ambigu.

Koko mengangguk, "Ya.. keknya kita semua di sini juga gitu sih. Saling manfaatin satu sama lain. Kita juga udah pada mulai dewasa, kan. Pada mulai sadar kalo hidup ini.. kadang berat kalo ngga saling manfaatin orang. Take and give lah."

Chikal mengangguk, "Benar. Kek gue yang manfaatin Vano, karena dia ngga pelit dalam segi pemikiran sama uang," ujarnya blak-blakan.

Mei melempar pemuda itu dengan bantal sofa yang berada di dekatnya, "Pencitraan dikit bisa kali anjir."

"Ngga bisa gue, Mei," desah Chikal.

Bayu memutar bola matanya bosan. Lalu, menatap Vano, "Kalo lo, Van?"

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang