• 35 •

45.9K 4.9K 1.4K
                                    

El menghela napas lega. Tidak ada orang selain dirinya di rumah. Ibu Alvano pergi bekerja. Si Ayah belum pulang dari dua hari yang lalu, dan dua pemuda lain sedang sekolah. Ia sendirian.

El mendudukkan dirinya di ruang keluarga. Rambut cokelatnya ia sisir dengan jemari. Mencoba untuk mencari cara agar memar merah yang ada di leher tidak terlihat. Kalau saja dia memiliki ponsel yang canggih, dia pasti bisa mencarinya di internet. Tapi sayangnya, selama tujuh belas tahun ia hidup, tak pernah sekalipun ia mempunyai benda tersebut.

Lagian, salah Alvano sih! Kenapa harus sampe bikin tanda coba?! Dasar cabul! Mesum!

Televisi di depannya, segera ia hidupkan. Jam telah menunjuk pukul sebelas lewat lima puluh menit. El baru sadar, ia belum sarapan. Pantas saja perutnya lapar. Ia pun segera beranjak dari duduknya dan melangkah menuju dapur. Di atas meja makan ada tudung saji. Dengan semangat, ia membuka tudung tersebut. Di dalamnya, ada sepiring nasi goreng ukuran jumbo beserta sosis dan nugget ayam.

Melihat itu, perutnya berbunyi karena semakin lapar. El mengambil sendok dan menyuap nasi itu untuk merasa. Tapi, tidak sesuai ekspektasinya! Nasi gorengnya sudah keras! Ini dibuat dari jam berapa coba?!

"Haduh, alamat gue. Ngga makan hari ini sampe si Vano balik," gerutu El pelan. Ia memutuskan untuk mencomot sosis dan nugget ayamnya saja, lalu kembali menutup tudung saji dan melangkah menuju ruang keluarga.

Sosis ia gigit. Kedua matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Biasanya, di sini ada stoples isi biskuit atau keripik. Kan lumayan, untuk mengganjel perut.

Lalu, tiba-tiba El langsung mendudukkan dirinya. Dia lupa. Makan dan minum tidak boleh berdiri. Ajaran Vano.

Sosis dan nugget, habis dalam beberapa gigitan. El masih lapar. Semejak tinggal di rumah ini, ia diberi makan banyak. Padahal, dulu seharian tidak makan pun bukan masalah baginya. Tapi sekarang, hanya melewatkan satu sesi makan saja, perutnya melakukan protes besar-besaran!

El mendengus pelan saat sadar tidak ada apapun yang bisa dimakan di ruangan itu. Ia menyandarkan punggungnya dengan lemas. Perutnya berbunyi. El pun mengelus pelan perutnya.

"Sabar, ya. Vano pulang ngga lama lagi, kok. Tinggal nunggu dua jam lebih dikit aja."

Lalu, suara motor yang masuk ke halaman rumah memasuki indra pendengarannya. El menoleh. Vano pulang cepat, ya? Eh, tapi, itu bukan suara motornya Vano.

Dengan tergesa, ia melangkah menuju ruang tamu, dan mengintip ke arah luar lewat jendela. Itu beneran Alvano. Tapi, kenapa dia diantar sama temennya? Motornya mana?

Setelah itu, El sadar. Wajah Vano lesu. Tangan pemuda itu menyentuh dahinya pelan dan menggeleng lemas untuk menanggapi ucapan dari temannya. Lho, Vano sakit?!

Tak lama setelah itu, bisa El lihat temannya pamit pulang. Vano menanggapi dengan lemas. Lalu, begitu temannya sudah pergi, pemuda itu berbalik dan berjalan menuju pintu.

El segera memosisikan dirinya tepat di depan pintu. Lalu, saat Vano membuka pintu, pemuda itu langaung terperanjat kaget saat melihat El sudah berdiri dengan wajah yang condong ke arahnya.

"Dih, apaan sih, El?! Ngagetin gue aja lo!" seru Vano. Raut lemasnya menghilang entah kemana.

"Kok lo udah pulang? Motor lo mana? Si Jeje mana?" El mengabaikan seruan Vano tadi.

"Di sekolah. Gue ijin pulang duluan ke guru."

"Lho, kayak gitu boleh?"

"Boleh. Kan, gue ijin pura-pura sakit. Jadi, boleh pulang."

El sontak menoyor kepala itu. Dia kira, Vano sakit beneran! Dengan sebal, ia melangkah menuju ruang keluarga lagi.

Vano mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu, dan melepaskan sepatu serta kaos kakinya.

Happiness [SELESAI] ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora