2. I'm The Best

2.7K 191 23
                                    

Pagi hari di Kediaman keluarga Yamazaki biasanya damai dan tenang, tetapi untuk hari ini tidak demikian keadaannya.

Amano Marco Yamazaki alias Ambrosio Marc-Olivier duduk bersila dan tangan terlipat di dada. Ia memiringkan kepala sedikit menghindari cangkir teh yang dilempar ke arahnya.

Pyarr! Cangkir porselin itu hancur membentur dinding kayu di belakangnya.

Brak!! Kotaro memukul permukaan meja tulisnya dan berdiri sambil menunjuk putra sulungnya itu. "Kau berani menghindar, Amano? Kian hari kau semakin kurang ajar!!" Ia mengepalkan tinjunya ke meja. Pundaknya turun naik mengatur napas. Ia melirik sekilas pada Eiji Yamaguchi yang tampak geram menatap Ambrosio yang duduk di seberangnya. Eiji adalah pimpinan Klan Yamaguchi dan usianya sepantaran dengan Kotaro, sekitar 50 tahunan.

"Empat belas klan, Amano, kau telah membantai empat belas calon pemimpin klan dan 30 lainnya hanya dalam satu malam. Apa yang kau lakukan? Apa kau mau memulai peperangan antar klan? Hah?" Tanpa mengalihkan pandangannya, Kotaro meraih teko teh dan melemparnya ke arah Ambrosio. Pelayan laki-laki di sisinya berusaha mencegah tetapi gerakan Kotaro lebih cepat, sehingga pemuda itu hanya bisa melongo. Ambrosio tak perlu beranjak dari tempatnya. Ia hanya perlu memiringkan tubuhnya dan teko itu membentur dinding, hancur berkeping-keping seperti cangkir pasangannya. Teh yang masih panas berceceran di lantai. Ambrosio duduk tegap seperti semula lalu menyesap tehnya dengan tenang.

Hiro yang juga berada di ruangan itu segera menyela, "mereka yang memulainya lebih dulu, Otou-sama. Jika Onii-san tidak melawan, ia yang akan mati dihabisi mereka."

"Aku tidak menyuruhmu bicara!" teriak Kotaro pada putra keduanya itu. Patung kayu seukuran genggaman tangan melesat ke arah Hiro dan mengenai kepalanya. Bletak!!

"Ooucchh!!" erang Hiro. Ia tertunduk hingga ke bawah meja teh dan memegangi dahinya. Tidak seperti Ambrosio yang keras hati, Hiro tidak segan berlagak sebagai korban agar ayahnya berhenti marah-marah.

Kotaro terkejut dalam hati karena tak menyangka Hiro tidak menghindar. Seburuk apa pun kelakukan anak-anaknya, ia tetap menyayangi mereka sampai ke tulang. Ia terduduk dan menunjuk Ambrosio dengan tangan gemetaran karena menahan marah. "Kau .... Ugh, anak ini ... huh!" Kotaro tak sanggup bicara lagi.

Ambrosio meletakkan cangkir tehnya dan menghunuskan tatapan tajam pada Eiji Yamaguchi. "Daripada membuang tenaga memarahiku, kenapa kita tidak mendengarkan penjelasan dari Eiji-sama? Vila itu adalah miliknya dan jamuan itu juga diatur olehnya. Bukankah ia tersangka utama dalang kejadian ini?"

Pria tua itu tersentak. " Kau ...." Eiji tidak melanjutkan, malah memutar tubuhnya bersujud ke arah Kotaro. "Komicho-sama, acara itu diselenggarakan tiap tahun dan tak pernah ada kejadian apa pun. Anak-anak muda itu seharusnya berkumpul agar saling akrab dan mempererat persaudaraan. Terjadinya insiden ini, aku yakin pasti ada yang memprovokasi mereka." Eiji melirik tajam pada Ambrosio. Pemuda itu duduk bersedekap dengan mata terpejam. "Marco-sama tidak pernah ikut dalam acara itu, tetapi kali ini ia hadir dan lihat apa yang terjadi? Semua pemuda itu mati sia-sia," geram Eiji.

Kotaro bersedekap dan berdehem. Hari itu sebenarnya Ambrosio sudah menolak, tetapi ia memaksanya. Ia ingin anaknya itu bergaul seperti pemuda lainnya. Namun yang terjadi malah tragedi. Sekarang bagaimana caranya meredam kemarahan klan lain akibat kejadian ini?

Melihat Kotaro bergeming, Eiji menggertak lagi, "kau sengaja menyimpan senjata rahasia untuk menghabisi anak-anak itu, kau sudah merencanakan semua ini. Kau ingin menyingkirkan mereka agar tidak ada yang berani menantangmu di kemudian hari. Kau sungguh licik Marco-sama!"

Ambrosio membuka matanya dan sorot sinis terpancar dari mata hitam kelam itu. Ia menarik benang logam dari sela lengan yukatanya. "Maksudmu benda ini? Kau sebut benda ini senjata?" Ambrosio merentangkan benang itu lalu menyalakan macis di genggamannya. Begitu lidah api menyentuh benang itu langsung putus. "Jika benang ini tidak ada, aku mungkin menjadi daging cincang dan dimasak sebagai hidangan makan malam. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, aku hanya melindungi diriku."

Play In Deception 2: Camouflage (END)Where stories live. Discover now