54. Vague

1.3K 141 42
                                    

Jika kematian memisahkan kita,
maka biarkan aku
menghancurkan dunia fana ini,
agar surga mengembalikanmu padaku

~Ambrosio Marc-Olivier~

Untuk sesaat, Ambrosio tidak bisa melangkahkan kakinya menuju tubuh yang tergeletak di depan sana. Gang itu menjadi gelap, seperti sebuah panggung drama yang mementaskan adegan terakhir dan sang aktris akan bangkit setelah bunyi tepuk tangan bergemuruh. Namun tak ada bunyi tepuk tangan. Hanya riuh rendah orang-orang di belakangnya saling bertanya dalam kebingungan.

Dua pria bersetelan hitam menghampiri dan berseru cemas, "Tuan?" Tak ada sahutan dari Ambrosio. Ia menulikan telinga dan membutakan matanya. Hanya ketika ia melihat gerakan kecil dari tubuh Sisilia, bola matanya bereaksi. Ia bergegas ke sisi Sisilia dan mendengar erangan lemahnya.

"Uuungh ...." Sisilia meremas dahinya sendiri sambil bertumpu dengan sikunya, berusaha bangun. Kepalanya serasa ditusuk benda tajam dari pelipis kiri tembus ke pelipis kanan. Ledakan bom cahaya yang terlalu dekat membuatnya mengalami migrain mendadak sehingga jatuh pingsan. Sayup-sayup dia mendengar seseorang memanggil namanya.

"Sisilia! Sisilia!" ujar Ambrosio cemas. Ia memapah Sisilia. Dalam keremangan ia bisa melihat mata Sisilia mengerjap-ngerjap lemah berusaha mengenalinya.

"Ambrosio?" gumam Sisilia. Cahaya dari senter menyakiti matanya. Dia memalingkan wajah. Ambrosio segera mengibaskan tangan agar senter ponsel itu dimatikan.

"Ya, ini aku, sayangku," ujarnya lega.  Ambrosio mengangkat tubuh Sisilia dan membawanya keluar dari gang. Anak buahnya membuka jalan. Ia bergegas masuk ke dalam mobil SUV hitam yang siap di pinggir jalan, mengabaikan Yui yang memanggilnya di antara kerumunan. Mobil itu segera melaju meninggalkan keramaian.

Ambrosio membelai wajah Sisilia dalam dekapannya. "Kau baik-baik saja, Aka-chan?" tanyanya.

Sisilia memejam untuk mengistirahatkan netranya. "Aku baik-baik saja, Ambrosio, tak ada yang perlu kau khawatirkan," jawabnya. Dia bisa merasakan bibir dingin pria itu mendarat di keningnya. "Maafkan aku, sayangku, aku telah lalai dan menempatkanmu dalam bahaya," desah Ambrosio putus asa.

Sisilia merasa jengah, seakan dia makhluk yang lemah dan harus selalu dalam perlindungan orang lain. Dia memang tidak bisa bela diri ataupun jutsu, tetapi Ambrosio kerap minta maaf padanya, membuatnya merasa jadi beban. "Sudahlah, Ambrosio," ujar Sisilia sambil menurunkan kakinya dari pangkuan Ambrosio. Dia memijat kening dengan mata tertutup rapat. "Aku baik-baik saja. Hanya mataku saja yang masih kabur. Kita pulang ke rumah saja."

"Tidak, kita ke Azteca Lab. Kau harus diperiksa dengan saksama, Sisilia, untuk memastikan kau memang baik-baik saja."

Turun dari mobil di halaman Azteca Lab, Ambrosio menggendong Sisilia ke kamar periksa dan mendudukkannya di salah satu ranjang. Ren masih bertugas di lab untuk memantau kondisi Kaito dan ia cukup kaget dengan kedatangan dua orang itu.

Ren melirik leher Sisilia saat memeriksa tekanan darahnya. Terdapat tanda merah besar dan jelas di balik kerah mantel pria yang dikenakan Sisilia. Ia bisa membayangkan apa yang mereka lakukan  saat berduaan dan mengejutkan mengetahui kencan mereka berakhir dengan kejadian ini.  Ren menyingkirkan alat pengukur tekanan darah. "Tak ada masalah dengan jantungmu, Sisilia. Keajaiban kau tidak cedera terkena jutsu penyerap jiwa Kaiya. Apa kau punya kekuatan terpendam sehingga bisa lepas dari jutsu-nya?" Ren menggenggam pergelangan tangan Sisilia untuk memeriksa chakra-nya. Ren keheranan dan terdiam untuk beberapa waktu.

Sisilia menarik tangannya. "Mungkin karena aku makan unagi," tukas Sisilia, "dan juga makan buah persik. Makanan tersebut meningkatkan daya tahan tubuh."

Play In Deception 2: Camouflage (END)Where stories live. Discover now