57. Waste It On Me

1.1K 114 39
                                    

"Ke-kenapa?" tanya Yui gugup.

"Tentunya kau menyadari pernikahan ini hanya untuk kepentingan klan dan bisnis. Kau tidak harus melakukan jika kau tidak menginginkannya. Banyak cara lain yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan bisnis tanpa harus melalui ikatan pernikahan."

Wajah Yui menjadi pucat pasi. Bukan karena keinginan Ambrosio membatalkan rencana pernikahan itu, tetapi ketakutan yang akan dihadapinya jika rencana pernikahan itu gagal. Ayahnya akan menghukumnya.

Punggungnya terasa dihantam batang kayu bertubi-tubi. Kankuro telah tiada, Kaiya menjadi buron. Nama baik keluarganya telah hancur. Bergabung dengan Yamazaki satu-satunya cara untuk memulihkan nama baik klan. Membatalkan rencana pernikahan itu akan lebih mengerikan daripada kematian.

Yui buru-buru berlutut dan bersujud di lantai menyembah Ambrosio. "Mohon maaf, Yamazaki-sama, aku tidak bisa melakukannya. Masalah ini hanya berhak diputuskan oleh orang tua kita, bukan aku atau kita," ujarnya. Dia duduk bersimpuh dan membulatkan tekad menatap pria arogan itu. "Aku akan tetap meneruskan rencana pernikahan ini!"

Ambrosio menyilangkan kaki dan betopang dagu. Ia menatap tajam pada wanita itu. "Meskipun aku akan mengabaikanmu?"

Ambrosio mengirim orang untuk mengawasinya setiap waktu. Pria ini tidak pernah benar-benar mengabaikan seseorang. Secercah harapan membuat Yui bisa tersenyum tulus. "Aku bersedia."

"Pernikahan kosong tanpa secuil rasa?"

"Aku bersedia."

"Mengabdikan seumur hidupmu pada klan?"

"Aku bersedia."

"Kau hanya akan menjadi istri pajangan. Kau tidak boleh membiarkan pria lain menyentuhmu. Jika sampai itu terjadi, kau akan menodai reputasi klan dan hukuman mati bagimu. Kau tahu artinya itu? Hidupmu akan dipenuhi kesunyian dan kehampaan."

Yui menatap polos pada Ambrosio. Apakah dia pernah mengecap cinta sejati sebelum ini? Tak pernah. Hal terindah yang pernah dirasakannya hanya ketika melihat tatapan tajam pria ini jatuh pada dirinya. Ketika tangan kokoh itu membawanya dalam dekapan erat dan dia bisa merasakan aroma tubuh yang maskulin, aroma dingin yang misterius, tetapi hangatnya akan terasa begitu mereka berdekatan. Mata kelamnya sanggup membabat jantung siapa pun dan wajahnya yang sinis akan membuat orang lain terintimidasi.

Jemari Ambrosio mengetuk-ngetuk rahangnya sendiri, menunggu jawaban. Yui masih termangu menatapnya. Jemari panjang yang akan menyentuh seorang wanita tanpa ragu-ragu.  Pria ini punya kuasa yang tak tertahankan untuk membuat wanita mana pun bertekuk lutut di kakinya.

Yui bersujud di lantai. "Menjadi istrimu adalah impian bagi banyak wanita di luar sana dan aku tidak akan menyerahkan posisi itu pada siapa pun," ujarnya mantap. Dia mengangkat wajah hanya untuk membalas tatapan Ambrosio. "Aku bersedia menghadapi segala konsekuensinya."

Ambrosio menarik napas dalam. Ia menelengkan kepala ke arah lain seraya menyisir rambut licinnya dengan jari. Rupanya ada wanita yang ikhlas menjadi boneka Otou-sama. Baiklah, ia akan membawa wanita ini masuk dalam keluarganya. Sekarang, tinggal bagaimana caranya memberitahu Sisilia dan membuatnya menerima pernikahan ini.

*
*
*
Suara ketukan terdengar. Sisilia menoleh ke arah pintu kamarnya. "Sisilia, ini aku!" Hiro berseru.

Mendengar suara itu, Tetsuya yang sudah jenuh bermain mobil-mobilan bergegas membukakan pintu. "Hei, Tetsuya-kun, anak pintar!" puji Hiro sambil mengelus rambut Tetsuya. Anak itu semringah dan menggosokkan hidungnya ke telapak tangan Hiro.

"Masuklah!" seru Sisilia sambil setengah terpejam, setengah berbaring di lantai, siku bertumpu menyangga kepalanya dan sebelah tangan mengibaskan kipas kertas bergambar setangkai bunga sakura. Hiro masuk dan menutup pintu.

"Bagaimana keadaanmu?" Ia duduk bersila di hadapan Sisilia.

"Seperti kau lihat, aku menikmati hidupku."

"Heheh, maksudku matamu."

"Sudah lebih baik, tetapi masih kabur," jawab Sisilia. Dia membuka matanya dan mencoba menatap Hiro. "Ya ampun, kalian benar-benar serupa jika dilihat dalam keadaan blur," ledek Sisilia.

"Siapa? Aku dan Amano?"

"Iya, siapa lagi?" Sisilia menelentangkan tubuh lalu menghela napas. "Bosan," keluhnya.

Hiro mengeluarkan kotak kayu hitam dari dalam yukatanya. "Ini, aku membawa koyo mujarab untuk ditempel di mata. Ini akan membantu matamu lebih cepat pulih. Aku mengambilnya dari farmasi. Kioshi membuatnya secara rahasia. Kau tahu, Otou-sama susah lepas darinya."

"Hmmm." Sisilia mempertimbangkan harga dirinya jika menerima pengobatan itu.

"Ah, sudahlah, jangan berpikir panjang!" bujuk Hiro. "Dulu kau juga sering mencuri bahan di lab untuk kejahilanmu. Sekarang apa bedanya? Anggap saja sama seperti itu."

"Yah, baiklah," sahut Sisilia akhirnya. Dia merebahkan kepalanya di depan kaki Hiro. Matanya terpejam dan Hiro meletakkan tampon selulosa berisi ramuan herbal di kedua pelupuk matanya.

Sementara melakukan itu, Tetsuya memanjat punggung Hiro dan bergelayut di leher pamannya. Tangan mungilnya sesekali menjambak rambut Hiro. Sedikit pun Hiro tidak keberatan dengan kelakuan Tetsuya.

"Kau tahu, Sisilia, Otou-sama sebenarnya menyukaimu, tetapi ia terlalu tinggi hati untuk mengakui itu," ujar Hiro sambil merapikan posisi koyo herbal itu. Jemarinya memijat lembut area pelipis dan kening Sisilia.

"Sudahlah, Hiro, tidak usah membela Otou-sama. Aku tahu posisiku. Ini hanya masalah waktu. Jika Amano menemukan wanita lain yang lebih cocok untuk keduanya; hatinya dan ayahnya; tak ada lagi alasan bagiku untuk tinggal bersamanya."

Tangan Hiro membatu. "Maksudmu ... kau sudah siap jika Amano-nii menikah lagi?"

Berbicara selalu lebih mudah daripada melaksanakannya, Sisilia sadar betul hal itu. Namun dia wanita yang selalu mempersiapkan diri terhadap berbagai kemungkinan. Kemungkinan terburuk sekali pun. "Siap tidak siap, hal ini akan dihadapi wanita mana pun. Pria biasa saja banyak yang beristri lagi, apalagi pria sekaliber Ambrosio. Aku tidak mau munafik, aku tidak menyukai hal itu. Apakah aku sanggup hidup dalam hubungan poligami atau tidak? Aku akan katakan aku tidak sanggup. Ada yang berprinsip berjuang demi cinta, tetapi aku bukan orangnya. Aku lebih baik menghabiskan waktu dan tenagaku untuk hal lain daripada berebut perhatian dengan wanita lain."

Hiro terkekeh dan melanjutkan memijat pelipis Sisilia. "Eh, Sisilia, bagaimana jika kau habiskan waktu dan tenagamu padaku?"

"Eeii, siapa ente?!" Sisilia tergelak. "Jangan konyol, Hiro, kau pikir aku mau lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya?"

"Isshh, siapa yang buaya?"

"Kamu! Kamu masih senang gonta-ganti pacar, itu buaya namanya," ledek Sisilia. Hiro memperhatikan bibir ranum kemerahan itu tersenyum lebar. Ia berbaring di sisi Sisilia dengan posisi berlawanan arah, kepala berhadapan dengan kepala. Ia menikmati lekukan wajah Sisilia. Wanita itu mulai terlelap karena efek herbal yang menenangkan. Napasnya mengalun lembut dan bibir tersenyum damai.

"Apa kau tahu, Sisilia? Aku ini buaya yang patah hati," gumam Hiro. Tak ada sahutan dari iparnya itu. Tetsuya duduk di dadanya dan mengacak-acak wajahnya. Ia menangkap tangan Tetsuya. "Ayo, Tetsuya-kun, tidur siang!" ujarnya sambil merebahkan Tetsuya lalu menjepit anak itu di ketiaknya. Anak itu berontak sambil terkikik geli. "Awas kalau melawan, Oji-san tidak akan membawamu jalan-jalan lagi!" ancam Hiro dan Tetsuya merengut, tetapi tidak membantah.

Tak seberapa lama, ketiganya tertidur nyenyak di atas tatami berwarna kuning jerami. Lonceng angin di teras berdenting pelan. Angin semilir masuk dari sela-sela papan. Suasananya hening dan damai. Siapa pun yang melihatnya akan mengira mereka keluarga kecil bahagia. Hanya ada satu orang yang tidak berpikir demikian, yaitu Ambrosio. Matanya melotot dan kakinya siap menendang Hiro ke bulan.

*
*
*
(19/04/2020)

Play In Deception 2: Camouflage (END)Where stories live. Discover now