38. Kage

1K 112 14
                                    

Kage (影): Bayangan

Orang tua kadang bisa bersikap tak masuk akal dan memaksakan kehendak, terhadap situasi ataupun terhadap anak-anak mereka. Contohnya saja Kotaro, ayah Ambrosio, yang masih berusaha merecoki rumah tangga anaknya dengan alasan demi akuntabilitas dan elektabilitas klan di mata orang lain. Seperti ibunya Sisilia, yang akan membeli tas desainer ternama dengan harga selangit padahal tidak memiliki uang yang cukup, hanya supaya merasa diterima di kalangan pergaulannya. Ayah dan ibu Sisilia adalah contoh yang tidak mau tahu urusan anak-anak mereka.

Semakin bertambah usia orang tua, ada kalanya bersikap semakin keras kepala dan mengeyel. Orang tua menganggap anak-anak masih dalam kendali mereka dan cenderung mengabaikan pendapat anak-anak mereka. Orang tua kadang merasa lebih pintar dan lebih tahu dari anak mereka. Pada akhirnya, orang tua seperti itu akan sadar sendiri jika sudah mengalami akibat dari kebodohan mereka.

Kotaro menganggap dirinya mengambil tindakan yang tepat dengan mencarikan calon istri muda untuk anaknya karena istri yang ada tidak memenuhi harapannya. Demi kebahagiaan anaknya kelak dan kesejahteraan seluruh klan.

Mengetahui ayahnya membuat undangan soal itu, Ambrosio marah besar dan segera menemui ayahnya di ruang belajar. "Otou-sama, apa yang telah kau lakukan? Aku sudah menikah dan aku bahagia dengan istriku apa adanya dia. Jika Anda tetap melakukan ini, Anda akan mempermalukan diri Anda sendiri," labrak Ambrosio.

"Aku melakukan yang terbaik untukmu!" sahut Kotaro sambil menghentakkan tongkatnya ke lantai. Ia duduk di balik meja tulis, sementara anaknya datang berang seperti pemrotes kebijakan.

"Terbaik untukku bagaimana? Anda hanya ingin memenuhi ambisi Anda semata."

Rahang Kotaro gemetaran menahan marah. "Lancang sekali kau, Amano! Apa kau tidak sadar siapa selama ini yang membesarkanmu?"

Oh, lagi-lagi kata ajaib itu! Ambrosio kesal sekali jika harus tunduk pada wewenang mutlak yang tak bisa diubahnya. "Selama ini aku diam karena aku sangat menghormati Anda, Otou-sama, sebagai orang tuaku," jawab Ambrosio. "Aku tahu bagaimana perlakuanmu terhadap Sisilia selama ini dan aku salut dia tetap diam, tak pernah sekali pun berucap buruk tentangmu, karena dia juga sangat menghormatimu. Jadi aku mohon dengan sangat pada Anda, Otou-sama, hormati juga kami. Jangan sangkut pautkan pernikahanku dengan urusan klan. Jangan merecoki pernikahan kami!"

"Ini bukan keinginanku, tetapi ini memang sudah ditakdirkan untukmu!" tegas Kotaro. "Kau lahir dalam keluarga ini. Jika dia pintar, dia seharusnya sadar dia menikah dengan siapa. Bukan tubuhmu semata, tetapi seluruh klan. Jika kau mau menyalahkan, salahkan darah yang mengalir di tubuhmu."

Ambrosio mendegus ketus pada ayahnya. Lagi-lagi ayahnya mengingatkan asal-usulnya dan rasanya Ambrosio ingin sekali memutar balik waktu dan memilih lahir setahun lebih lambat. "Jika Anda begitu peduli soal pernikahan anak Anda, kenapa Anda tidak mencarikan calon istri untuk Hiro saja? Hiro belum menikah dan usianya pun sudah cukup untuk jadi ketua klan. Jadi kenapa harus aku? Kenapa hanya aku yang Anda pedulikan? Apakah dalam tubuh Hiro tidak mengalir darah Yamazaki?"

Kotaro tergagap, tak dapat menyahut lagi. Tubuhnya bergetar meredam murka yang lebih kuat dari tenaga yang dimilikinya. Ambrosio menghela napas dalam melihat perubahan raut ayahnya. Ia berkata dengan suara yang lebih tenang. "Aku harap ini terakhir kalinya kita membahas ini, Otou-sama. Kumohon, jangan memulai perang denganku." Selepas ucapan itu, ia pergi dari hadapan Kotaro.

Ambrosio pergi dari kediaman utama keluarga Yamazaki dengan mengendarai mobil sendiri, melintasi jalanan sepi karena dingin menjadikan peraduan tempat terbaik. Malam sudah larut dan bulan menggantung diri di tengah damainya kegelapan. Ia tiba di depan Azteca Lab dan mematikan mesin mobil sehingga senyap menyelimuti sekelilingnya. Ambrosio bertelungkup di setir dan memandang dengan sorot sayu merindukan pada ruang atas laboratorium itu, di mana lampunya masih menyala terang. Ia membisu, tetapi hatinya berteriak memanggil wanita di atas sana yang sedang berjibaku dengan waktu dan bahan berbahaya. Kapan cintanya akan keluar dari tempat itu? Melihat bayangannya hanya semakin menambah beban rindu yang kian berat tiap harinya.

Play In Deception 2: Camouflage (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt