Baby.. One

5.4K 508 97
                                    

2,3k words/chapter
Happy reading ^^





Tuk!

Brian menyimpan pena yang digunakannya ke tempat semula. Kurvanya melengkung indah membentuk seulas bulan sabit manis pada sosok yang duduk di seberang mejanya. Senyum yang sudah terprogram, bukan senyuman yang benar-benar murni karena tersenyum kenyataannya. Ya.. jika saja kalian ingin tahu.

"Anak Ibu hanya mengalami diare biasa, tidak perlu cemas. Kemungkinan besar penyebabnya adalah efek dari jajanan yang dikonsumsinya saat di sekolah," ujar sang dokter dengan sopan.

Ibu berusia tiga puluh lima tahunan itu kemudian mengatakan beberapa hal lain yang sebenarnya cukup membingungkan, namun Brian bisa menjawabnya dengan baik tanpa harus memutar otak lebih. Dan memberikan senyumannya lagi.

Ah, lesung pipi di wajah dokter tampan yang berdarah blasteran Asia-Eropa itu sungguh memabukkan setiap orang yang melihatnya.

Dan Brian memang sadar akan hal itu.

Orang tua dari pasien kecilnya tersebut mengangguk paham akan kalimat sang dokter tadi. Juga setelah diberikan secarik kertas berisikan resep obat yang harus diambilnya pada apotek, si wanita pun segera berlalu di balik pintu.

Baiklah, itu tadi adalah pasien terakhirnya untuk hari ini dan lelaki bersurai pirang tersebut segera membereskan mejanya lalu bersiap untuk pulang, tapi sebelum itu ijinkan dia untuk sekedar meregangkan ototnya sesaat dan memandang sebuah pigura kecil di ujung meja. Potretnya dengan sang adik.

Brian Canavaro Warren, atau sebut saja Brian singkatnya adalah seorang dokter muda spesialis anak yang baru saja melakukan praktek sejak setahun lalu pada sebuah rumah sakit besar. Memiliki wajah yang tampan diatas rata-rata karena mungkin darah campuran yang mengalir dalam nadinya adalah salah satu alasan kenapa ia memiliki visual yang amat memikat.

Tubuhnya tinggi semampai -meski tak dapat dikatakan jangkung juga- bahunya lebar, dadanya bidang, kulitnya putih bersih sebening butiran salju karena memang kekurangan pigmen. Ah, katakan saja ia berkulit pucat jika memang itu perlu. Surainya berwarna coklat karamel, pernik indah dengan warna amber, hidung bangir, bibir tipis merah muda merekah, alis yang terukir jelas dan rahang yang tegas. Siapa yang menyangkal akan keindahan rupanya itu? Beberapa suster di sana bahkan mengatakan jika Brian lebih pantas untuk menjadi model atau actor ketimbang menjadi dokter.

Tak hanya itu, Brian juga terlahir dari golongan orang berada. Ayahnya memiliki bisnis dalam bidang elektronik yang cukup besar di Eropa utara, sedangkan ibunya terlahir dengan darah bangsawan. Sebut saja hidup Brian itu sempurna karena ia memiliki segalanya. Bahkan saat ia memilih untuk menjadi dokter ketimbang meneruskan bisnis keluarga, ayahnya pun tak membantah akan cita-citanya. Justru malah mendukung. Luar biasa 'kan?

Namun di balik itu semua, tak ada yang tahu jika Brian adalah sosok yang terbilang kesepian. Terlebih rasanya semakin kian menjadi kala ia kehilangan seseorang yang begitu ia sayangi beberapa waktu silam.

Ya, sejujurnya jika mau dikatakan, Brian bisa saja mencari hiburan di luar sana. Dengan menyewa wanita penghibur untuk melakukan one night stand bersamanya tentu bukanlah hal yang sulit. Terlebih mengingat seberapa indah visualnya itu, dirasa mungkin hanya dengan membalik telapak tangan pun para wanita akan mengantri untuk bisa mendapatkan perhatiannya.

Hmm.. tapi Brian takan melakukan itu. Ia bukan tipe lelaki yang senang menghamburkan uang hanya untuk bermain dengan wanita dalam kisah cinta satu malam saja. Bukan.

Baiklah, sepertinya sudah cukup mendalami dunia si dokter muda tampan ini. Dan kini sudah terlihat jika sosoknya sebentar lagi akan beranjak pergi meninggalkan ruangannya.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now