Baby.. Twelve

2.5K 377 66
                                    

Tak pernah sekolah sebelumnya membuat Achel tidak bisa membaca pun tak tahu sama sekali huruf dan angka, yang membuat Brian juga jadi bingung sendiri untuk bagaimana mendidiknya.

Padahal jikalau saja sebelum ini Achel pernah bersekolah, mungkin Brian dan Weynie bisa tahu di mana alamat asli anak itu dan siapa orang tuanya yang sesungguhnya.

Ya.. meskipun kendati demikian, Brian tak pernah merasa menyesal sudah membiarkan Achel untuk tinggal di rumah ini bersamanya, walau keadaannya jelas sudah membaik. Ah, ralat! Jauh lebih dikatakan baik dari yang awal ia temui beberapa minggu silam.

Dan hitung-hitung juga untuk sebagai pengobat akan rasa rindunya pada mendiang sang adik yang sudah lama pergi.

Meskipun memiliki keterbelakangan, nyatanya Achel adalah anak yang rajin. Ia tak suka sesuatu yang berantakan. Setiap kali pagi datang kala Brian hendak membangunkannya, si dokter akan selalu menemukan kamar itu dalam keadaan rapi. Semua buku disusunnya mengikuti tinggi ukuran. Semua mainan dipisahkan menuruti bentuk dan bahan. Box boneka akan selalu penuh dengan boneka, box mobilan akan selalu dipenuhi mobilan, pun dengan balok-balok jenga atau puzzle serta kubus rubik, tak pernah berada di tempat yang salah.

Achel juga anak yang menurut akan sebuah perintah. Ia akan diam sepanjang hari di dalam rumah jika Brian sedang pergi bekerja. Namun tak jarang juga ia akan kerap hilang fokus pada sesuatu yang dilihatnya atau ia pegang setiap kali diajak bicara.

Ya.. semua anak-anak memang seperti itu bukan? Walau memang Achel sudah dikategorikan remaja, tapi dalam otak dan pola pikirnya masihlah sama seperti anak kecil sekitar usia lima atau tujuh tahunan.

Tapi terkadang Achel juga masih kerap penakut seperti dulu. Entah kenapa alasannya kadang tanpa sebab Brian akan menemukan Achel bersembunyi di kolong tempat tidur ataupun sudut lemari seperti dulu dengan keadaan tremor.

Sejauh ini Weynie menyimpulkan jika anak tersebut akan berlaku demikian bila traumanya kembali muncul. Entah pada sebuah benda atau pada sebuah bayangan yang akan muncul saat ia tengah sendiri maupun tertidur.

Ah, jika membicarakan tentang traumanya, Brian seringkali merasa penasaran. Memangnya apa yang sudah dilewati remaja ini hingga malang menimpanya? Mengingat awal mula Brian menemukannya saja sudah cukup membuatnya sedih dan kerap ngeri sendiri. Apalagi jika teringat tentang semua luka di sekujur tubuhnya. Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya jika itu adalah sebuah luka bekas penganiayaan.

Namun pertanyaannya adalah : siapa yang sudah tega menganiaya anak sepolos Achel? Orang tuanya 'kah? Atau orang lainnya?

Pun dengan yang namanya orang tua, Brian masih membingungkan hal tersebut. Kenapa setelah berlalu lewat, lebih dari lima minggu Achel tinggal di rumahnya, Brian belum juga mendengar kabar jika ada orang tua yang kehilangan anak? Terlebih anak dengan kondisi berkebutuhan khusus seperti Achel begini.

Kenapa tidak ada satupun berita tentang orang hilang? Apakah Achel memang sengaja dibuang keluarganya? Apakah mereka memang tak ingin Achel kembali hingga dibiarkan begitu saja hidup dengan orang asing? Brian jelas mempertanyakan hal tersebut selama berulang-ulang dalam benaknya.

Siapa Achel sebenarnya?
Ada apa dengannya?
Siapa orang tuanya?
Di mana tempatnya berasal?
Kenapa Achel bisa terluka?

Semuanya terasa seperti bongkahan puzzle acak untuk Brian susun tanpa tahu sama sekali bagaimana cara menyatukannya.

Achel terlalu unik namun juga terlalu misterius untuk sekedar diterka-terka.

Dan kini dalam ruangan yang terlihat remang sebab pendar lampu tidur pada nakas itu tak seberapa besar dengan lampu bohlam di langit-langit kamar, Brian bisa melihat seberapa polos wajah Achel yang tertidur dengan lelap dalam dekapannya.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now