Baby.. Thirty Four

1.4K 236 88
                                    

Keduanya turun dari loteng dengan wajah sembab dan bibir semerah tomat. Entah apa yang sudah terjadi pada mereka selama di atas tadi. Namun yang Weynie dan dua orang asing itu tangkap adalah sebuah tas sport hitam yang dibawa Brian. Pun dengan Achel yang terus merunduk sambil memeluk bonekanya.

"Dia udah siap," ujar Brian pelan. Suaranya terdengar serak dan parau, pun halnya dengan si manis yang sesekali masih mengeluarkan suara sesenggukan dari tenggorokannya.

Mendengar apa yang dikatakan oleh dokter muda nan tampan tersebut, dua pria asing itupun segara bangun dari posisinya yang semula duduk di sofa. Yang paling dewasa nampak tersenyum lebar, yang malah dilihat oleh Weynie nyaris seperti sebuah seringai. Sementara yang lebih muda—adiknya itu tak bereaksi sama sekali, selain menunjukkan wajah datar dan bibir yang sejak tadi terus bungkam. Mungkin dia memang tipe orang yang irit dalam berbicara.

Atau ada hal lain yang sedang dipikirkannya?

Tas jinjing itu diberikan Brian pada lelaki yang lebih muda tersebut. Isinya ada beberapa potong pakaian sehari-hari Achel —yang sebagian diturunkan dari mendiang Felix dan juga Brian sendiri— pun ada beberapa buah mainan; rubik, mobilan dan lego. Mainan yang sekiranya sering dimainkan oleh remaja itu kala ia sendirian menunggu si dokter pulang.

"Ini baju dan mainannya," ucapnya sendu.

"Baiklah, terima kasih," ucap lelaki itu. Lalu ia menatap pada pria tua yang kini mengangkat tangannya, meminta sambutan dari si manis yang masih enggan bergerak.

"Ayo kita pulang, Sayang."

Kalimatnya dibuat selembut mungkin, senyuman itu tak juga lepas dari bibir hitam pucatnya. Tapi tatapannya.. terlihat seperti sesosok predator yang meminta pada mangsanya agar mau menyerahkan diri untuk menjadi santapan. Beringas, menyeramkan.

Dan Weynie selalu sadar akan setiap gerak-gerik dari pria tersebut.

Achel mengangguk pelan, masih dengan kepala tertunduk. Ia meraih tangan tua itu dengan ragu, lalu si pria menggenggamnya dengan erat.

"Terima kasih atas segala yang kau berikan. Budi baikmu yang sudah merawat anakku takan pernah kulupakan hingga akhir hayat nanti," ujarnya kemudian pada Brian yang nyaris terlihat seperti sesosok zombie saat ini.

"Selamat tinggal," tambahnya. Lalu ia berjalan mengekori adiknya yang sudah lebih dulu di depan. Tanpa tahu jika saat ini tangan Achel hendak meraih Brian. Seolah ia memohon agar dokter itu menahannya dan tak membiarkannya pergi begitu saja.

"Dah, Achel. Jagain Kitty, ya biar gak kabur lagi," bisiknya lirih dan menatap sedih pada boneka kucing yang terus didekap oleh si manis.

Mendadak.

"IIIH, ACHEL MAU KEMANA!!? ACHEL MAU KEMANA!!? WINNIE, SI ACHEL MAU KEMANA!!?" Chiko muncul dengan box container penuh mainan yang dibawanya dari belakang rumah.

Brak!

Dilempar begitu saja semua mainan yang ia bawa dan berganti dengan sebuah larian, lalu Chiko langsung mencekal lengan Achel menariknya kembali agar masuk ke dalam rumah.

"Chiko, jangan!" Weynie segera menahan adiknya. Pun dengan Brian yang berusaha membantu.

"ACHEL GAK BOLEH PERGI!! GAK BOLEH PERGI!! WINNIE, ACHEL GAK BOLEH PERGIIIII!!" teriaknya lantang, merengek dan menggelayuti lengan Achel, tak rela temannya dibawa pergi.

"Chiko, jangan, lepasin tangan Achel," titah Brian. Namun dalam hatinya justru sebaliknya.

Achel mulai menangis karena tangannya terus digelayuti Chiko, namun dibalik itu semua, ia menangis karena ia enggan untuk pergi. Ia tak mau jauh dari Brian, dan tak mau pula meninggalkan teman bermain serta kakaknya yang sudah dirasa-rasa seperti keluarganya sendiri itu.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now