Baby.. Thirty Seven

1.6K 247 94
                                    

Pagi hari..

"Kamu gak pulang!?" tanya Brian saat melihat Weynie sibuk dengan cucian piring kotor di dapurnya.

Ah, tentu Brian akan bertanya demikian, karena si psikolog beruang itu sudah hampir duapuluh empat jam tinggal di rumahnya.

Ia menginap semalaman, dan penyebab awalnya adalah kebocoran tabung gas di dapur Brian. Bodohnya lagi si dokter itu tak tahu cara memperbaikinya, hingga terpaksa Weynie sendiri yang harus turun tangan. Beruntung ia cukup mengerti dan paham tentang masalah seperti ini. Dan ketika selesai, alih-alih pulang ia malah menginap dengan alasan takut gasnya bocor lagi.

Tidak bohong memang, tapi alasan lain adalah karena ia sedang mengawasi tingkah si empunya rumah tersebut juga.

Yang diduganya mulai mengalami depresi.

"Kamu ngusir aku!?" jawab si psikolog tanpa beralih sedikitpun dari pekerjaannya. Ia malah terlihat seolah hendak memakan piring-piring tersebut karena sejak tadi bibirnya terus mendumal tiada henti.

"Cuma nanya sih," sahut Brian ketus. Ia malah menyundut selinting nikotin dan meluruskan kakinya di atas sofa ruang tengah sembari menonton Tv.

Weynie menggeram saat ia melihat Brian dengan enak-enakan duduk santai di ruang tengahnya sementara ia berkutat dengan piring-piring kotor di dapur serta rumah yang berantakan.

Beres dengan setumpuk piring kotor, kini Weynie nampak beralih ke sudut dapur dan mengambil sapu.

'Sialan, kenapa aku jadi kayak babu di sini!?'

Ah, Weynie. Padahal tidak ada yang menyuruhmu untuk membersihkan tempat ini. Kenapa kamu capek-capek justru melakukannya? Yang punya saja terlihat seperti tidak peduli dengan keadaan rumahnya sendiri.

 Kenapa kamu capek-capek justru melakukannya? Yang punya saja terlihat seperti tidak peduli dengan keadaan rumahnya sendiri

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Ruangan itu terlihat remang dengan pendar lampu yang cahayanya tidak seberapa terang.

Di salah satu sudut yang tak terjamah cahaya si lampu itu nampak sesosok tubuh terkulai lemas di atas lantai dengan keadaan polos tanpa busana sama sekali. Wajahnya pucat, kedua tangan dan kakinya terikat ke belakang, sedang mulutnya pun tersumpal sehelai kain dengan selotip merekat pada bibirnya. Hembusan napas itu terdengar begitu pelan lagi berat, kedua kelopaknya terlihat sembab dengan jejak air mata yang mulai mengering. Sementara hampir disekujur tubuh terlihat banyaknya bekas garis kemerahan bekas cambukan serta bercak-bercak yang diduga adalah lelehan lilin panas yang dituangkan ke atas kulit bersihnya.

"Kau tak pernah berubah," suara berat itu kembali terdengar kencang meski pada dasarnya ia berucap dengan pelan. Kedua tangannya terlihat tengah memasang kancing pada celananya yang semula terbuka, dan mengikat kembali sabuknya yang beberapa waktu lalu telah dilepaskannya.

Sosok yang diajak bicara itu tak menjawab, selain suara hembusan napas berat yang terdengar keluar dari hidungnya.

Tubuh besar nan tegap itu merendah, berjongkok tepat di depan remaja delapan belas tahunan tersebut sebelum mencekal rahangnya dengan kuat, membuat sosok tersebut itu mengerang pelan dengan suara cicitan kecil bak tikus yang terjerat.

The Pacifier ✔ [Banginho] Donde viven las historias. Descúbrelo ahora