Baby.. Forty Eight

1.9K 266 142
                                    

Mungkin rasanya memang tak adil, tapi Jack tahu jika keberadaannya di hidup Achel memanglah sebuah kesalahan. Meski demikian ia selalu berdoa, kiranya Tuhan dengan baik hati akan memberikan jalan lain untuknya agar ia bisa bertemu dengan pemilik mata indah itu lagi nanti di hari lain.

"Awas, pelan-pelan," ucap Ludwig saat Achel terlihat tengah berusaha mengangkat tubuhnya agar dapat duduk dengan sempurna.

Ah.. hari ini si manis bermanik kucing itu sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tentu saja kabar ini membuat orang tuanya senang sekali karena satu-satunya putera mahkota di keluarga itu akhirnya bisa kembali ke kediamannya setelah nyaris empat belas tahun lebih hilang entah kemana.

Tapi dibanding bahagia, entah kenapa justru ada yang merasa sedih saat ini.

Brian memandang sendu meski bibirnya mengulum senyuman saat melihat pria seusia ayahnya itu menggendong si manis sebelum mendudukkannya ke atas kursi roda. Ia tak paham kenapa rasanya sedikit sesak kala tahu jika anak lelaki yang sudah menemani harinya lebih dari enam bulan belakangan ini justru takan kembali lagi ke rumahnya, melainkan ke rumah orang tuanya.

Kenapa?

Padahal dulu Brian sendiri yang berkata jika ia akan melepaskan Achel bila ia sudah tau siapa keluarganya. Lantas kenapa rasanya malah seperti tidak ikhlas saat hal yang diucapkannya benar-benar terjadi?

"Sak-sakit.." cicit Achel pelan merasakan ngilu di pinggulnya saat ia dipindahkan ke kursi roda. Padahal gerakan sang ayah sudah benar-benar pelan ketika mengangkat tubuhnya.

"Sakit?" Ludwig membeo pelan, dan anaknya mengangguk lemah.

"A-Achel mau.. p-pul-pulang," cicitnya kecil saat Agatha memberikan boneka kesayangannya.

"Iya, sayang. Ayo kita pulang," jawab ibunya sembari mengusap lembut surai gelap si anak. Tapi tatapan Achel tak mengarah pada orang tuanya, ia justru memandang pada sosok berjas putih di sisi ruangan lain, pada sosok dokter muda yang sejak kemarin sudah kembali praktek di rumah sakit ini.

Sadar jika wajahnya tengah ditatap dengan intens oleh si manis, Brian pun kembali menarik kurvanya yang sempat turun tadi, "Achel pulangnya sama Mama Achel, bukan sama Byan ya," katanya kemudian.

"Achel ma-u pulang.. sam-sama Byan," rengeknya kemudian.

Brian menarik napas panjang, berusaha mengontrol diri dan emosinya sebelum berjongkok di depan kursi si manis dan mengusap rambutnya perlahan. Lalu kembali tersenyum teduh sebelum mengatakan jika saat ini ia sedang kerja dan tak bisa mengantarnya pulang ke rumah.

"Byan nanti nyusul ya, 'kan Byan sekarang lagi kerja. Jadi Achel pulangnya sama Mama, Papa Achel dulu," bujuknya. Sendu.

Pemuda manis bermata indah itu merungut, menekuk wajahnya muram dan cemberut sembari terus menggumam jika ia ingin pulang bersama si dokter dan juga ke rumahnya, bukan ke rumah orang tuanya.

"Mau pul-lang sama.. B-Byan," cicitnya lagi.

Brian terdiam, ia menatap wajah mungil nan imut yang masih nampak pucat itu sebelum meraih tangan ringkih dengan selipat perban yang menutupi bekas selang infus di punggungnya. Dan berucap mengikrar janji.

"Achel.. udah waktunya Achel pulang ke rumah Achel yang sebenernya. Byan bukannya ngusir Achel dari rumah Byan, tapi tempat Achel emang sama Mama dan Papa Achel.. Byan janji, abis ini kita bakal ketemu lagi. Byan nanti pasti dateng ke rumah buat main sama Achel lagi.. Byan janji," ikrarnya.

Namun hanya sekedar ikrar, tanpa ada keyakinan pada hati apakah ia bisa menepatinya nanti.

Jari kelingking itu diangkat ke depan wajah cantik yang muda, menunggu saat ada kelingking lain nan mungil menyambutnya dengan lilitan satu sama lain. Dan hanya berselang dua detik, jari-jari bungsu mereka pun akhirnya saling bertautan.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now