Baby.. Twenty Seven

1.8K 258 35
                                    

Brian akui meskipun hanya dalam hatinya, bahwa ia mulai merasa memiliki perasaan berbeda pada Achel.

Entah sejak kapan hal itu mulai timbul, namun setiap kali melihat Achel menangis, rasanya saat itu juga hatinya bak ikut teriris. Seolah ia memang tahu apa yang pernah dirasakan si manis selama hidupnya sebelum mereka bertemu. Seolah paham benar dengan takut yang dirasakannya.

Dan kini, pagi hari ini, Brian kembali merasakan bagaimana sendunya diri seorang remaja delapan belasan tersebut. Saat manik amber sang pria mendapati jika ia tengah melamun dengan pandangan jauh ke arah luar jendela. Seolah tengah memikirkan hal yang berat. Entah apa.

Memangnya apa yang bisa dipikirkan oleh remaja berkebutuhan khusus sepertinya?

Brian juga tidak tahu.

Tapi dari cara dia memandang, Brian bisa membaca jika itu bukanlah sesuatu yang baik untuk ia pikirkan olehnya.

Apakah ia sedang mengulang ingatan dimasa lalunya? Apakah ada hal yang lebih buruk selain luka yang pernah dideritanya? Ataukah sebuah perlakuan seseorang yang sudah membuatnya mengalami trauma?

Entahlah, apapun itu, Brian tahu jika hal tersebut bukanlah sesuatu yang bagus untuk dialami anak selugu Achel. Ia begitu polos. Sangat polos akan kerasnya dunia luar, meski Brian tidak tahu sejauh apa sepak terjangnya bertahan sebelum ini.

"Achel.." panggilnya pelan.

Tapi remaja itu tak bergeming sedikitpun dari pandangannya. Dan pria yang memanggilnya kini terlihat bergerak maju, mendekat lalu duduk di sisi lain kasur yang tepat berada pada sebelahnya.

Grep!

Tangan besar Brian menyentuh bahunya. Namun pada detik itu juga si empunya tubuh nampak tersentak kaget luar biasa. Seolah ada sesuatu yang menubruk tubuhnya hingga nyaris terpelanting ke udara. Dan wajahnya pun menoleh, menampakkan raut terkejut berhias bibir pucatnya.

"Achel kenapa? Maaf, Byan gak ada niat buat ngagetin Achel," cerca sang pria.

Yang ditanya hanya diam, memandang dalam pada iris amber yang menjadi lawan bicaranya. Sedang pernik bulat berwarna karamel gelapnya tak sedikitpun memberikan jawaban.

"Achel?" Brian kembali menyebut namanya. Dan kali ini ada sedikit jawaban, meski hanya sekedar gelengan semata.

"Turun ke bawah yuk. Mama, Papa sana Om Corry udah nungguin Achel buat sarapan bareng," ajaknya kemudian.

Alih-alih setuju pada yang dikatakan si dokter, remaja delapan belas tahunan itu malah merundukkan kepalanya, dan menautkan jemari-jemarinya pada ujung piyama yang sejak tadi ia mainkan. Pun lantas kepalanya kembali menggeleng setelah beberapa saat terdiam.

"Kenapa? Achel gak enak badan?" Brian kali ini berkata sambil menyentuh dahi si manis perlahan.

Normal. Tidak panas sama sekali meskipun wajah serta bibirnya terlihat sedikit pucat.

"Yan.." cicit kecil itu kembali terdengar pelan. Membuat yang disebutkan namanya terlihat mengerutkan dahinya sedikit dengan raut bingung.

"Ya?" jawab yang dewasa, lembut.

"A-Achel.. susah By-Byan?" mungkin maksud dari pertanyaannya adalah : apakah ia selama ini sudah menyusahkan Brian?

"Achel ngomong apa?" Brian bukan tidak mengerti dengan kalimatnya, ia hanya tidak mengerti pada apa yang dimaksudkan dari ucapan tersebut.

"M-maap.. Yan.." tambahnya. Kepala itu kian merunduk dengan wajah yang enggan membalas tatapan dari si lawan bicara. Seolah menyembunyikan hal yang tengah dirasakan olehnya saat ini.

The Pacifier ✔ [Banginho] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang