Baby.. Forty Four

1.8K 266 106
                                    

Give me u'r hug!! Give me! Give me!
Gak jadi hiatus gegara Dm kalian 🤧
Aaaaaa... seneng banget!!
Ternyata ditungguin.





































Selimut hangat, jam dinding yang berdenting lembut, hembusan angin menyibak tirai putih. Anggun. Menari-nari dalam buaiannya yang lembut, sedang awan putih di langit jingga mulai memanjakan mata.

Tapi kenapa ia tak bangun jua? Tidakkah ia merindukan indahnya dunia? Tidakkah ia tahu jika saat ini ada yang terus menantikan senyumannya? Tidakkah ia tahu jika ada seseorang yang amat merindukannya? Tidakkah ia tahu jika ada orang yang terancam keselamatannya? Tidakkah ia tahu..

Empat belas hari setelah kejadian itu. Lima hari setelah Brian dibolehkan pulang ke rumahnya. Dan sehari setelah orang tua Brian menghubunginya jika mereka akan pulang dalam waktu dekat.

Yah.. bermula setelah empat belas hari bukanlah waktu yang singkat jika dilewati dalam ruangan sepi ini. Memang tak benar-benar sepi karena monitor itu terus mencicit berisik tiada henti. Tapi beda dengan isi hati yang terus bertanya kapan ia akan kembali.

Oh, Tuhan.. Brian rela melakukan apa saja agar ia bisa melihat bola mata indah itu terbuka kembali. Agar ia bisa mendengar suara tawa renyahnya lagi. Ataupun celotehan lucunya dan juga rengekan yang selalu meminta permen jelly.

Apa saja.

Apa saja akan dilakukannya.

Padahal semuanya sudah semakin jelas. Titik terang tentang siapa sosok asli Achel pun sudah diketahui Brian dengan sangat jelas. Tapi kenapa benang kusut dalam pikirannya terasa kian runyam? Berbagai asumsi buruk yang akan datang kian bermunculan tiada henti bak jamur di musim penghujan.

Dan rasanya ia semakin tersudutkan saat Weynie memberitahu Brian jika orang tua kandung Achel akan datang dalam beberapa hari ini dari Berlin.

Bagus. Ia akan berakhir dalam waktu beberapa hari ini karena pasangan miliarder itu akan menghabisinya sebab sudah membuat anak mereka jatuh koma di rumah sakit ini.

Bip!

Bip!

Bip!

Hembusan napas lembut itu masuk ke dalam selang kecil yang tersambung pada monitor unit ventilator di sisi lain ranjangnya. Salah satu jarinya yang mungil masih terkatup oleh pulse oxymetry guna mengetahui tekanan oksigen dalam darahnya. Pun dengan bagian tangan lain yang disematkan jarum infus. Sedang detak jantung dan aliran darah masih terpantau jelas dari bed side monitor. Memberitahu pada siapa saja yang melihatnya jika pasien itu masih memiliki kehidupan di dalam raganya yang meski tak sedikitpun menunjukan gerakan.

"Achel kapan bangun?" Brian bertanya pelan sambil mengusap punggung tangan si manis dengan lembut.

"Mama sama Papa Achel mau dateng sebentar lagi ke sini. Mereka dateng jauh-jauh dari Berlin habis tau kalo Achel udah ketemu," suara itu pelan, lirih dan bergetar. Wajahnya yang pucat merunduk, dan tatapannya yang sendu terlihat penuh pilu.

"Byan takut, Chel. Gimana kalo Mama sama Papa Achel marah ke Byan karna udah bikin Achel celaka begini? Gimana kalo mereka ngelarang Byan buat ketemu Achel lagi. Byan gak mau pisah dari Achel. Byan sayang banget sama Achel," ia mulai menangis.

"Byan salah... maafin Byan. Gegara Byan, Achel jadi begini. Gegara Byan, Achel jadi sakit.. maaf," sesak rasanya menenggelamkan dada Brian. Seolah ia sedang ditarik masuk ke dalam lumpur dan tak ada yang bisa menolongnya.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now