Baby.. Twenty Two

2.1K 279 39
                                    

Weynie duduk melantai bersama Brian di pekarangan rumahnya. Di tengah mereka ada dua gelas ice lemon tea dan beberapa toples cemilan. Keduanya juga terlihat tengah asik memerhatikan dua remaja yang masih merumput dan bermain bersama di depan mereka.

"Ingat? Pertama kali kita mulai deket?" Weynie membuka obrolan.

"Aku masih inget semua. Sampe pertama kali kamu masuk kelas juga aku inget. Sumpah, kamu tuh jutek banget waktu itu," sahut Brian.

"Ah?! Masa sih. Perasaan waktu aku masuk pertama kali tuh nebar senyuman terindah deh. He he he," pria itu menunjukan senyuman luasnya, tak lupa dengan kedua alis dinaik-turunkan beberapa kali.

"Hah? Apaan.. muka kamu kek nenek-nenek yang gak dikasih uang belanja sebulan ama suaminya tau!" Brian tak mau kalah. Namun sanggup membuat Weynie terbahak karenanya.

"Heh, jangan ngada-ngada kamu! Gak gitu ih!" hantam si beruang seketika.

Brian tentunya takan berhenti disitu saja, ia terus melemparkan Weynie gurauan yang sebenarnya menurut sudut pandangnya sendiri tentang sosok sahabatnya tersebut di masa lalu. Yang sebagian besarnya disangkal oleh Weynie sendiri. Tapi tak ditampik tentang kebenarannya.

Sekedar info. Weynie memiliki hidup yang serupa namun lebih rumit ketimbang Brian. Jika Brian keluar dari rumah orang tuanya karena ingin mandiri, berbeda dengan Weynie yang tak mau tinggal lagi dengan ibu atau ayahnya. Terlebih setelah mereka bercerai, hingga langkah yang nekat diambil pemuda itu adalah hengkang dari rumah yang sudah menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya dengan membawa si adik turut serta.

Sulit? Tentu saja.

Mengingat saat itu Weynie masih duduk di bangku kuliah tanpa adanya pekerjaan yang pasti, namun karena tekad yang kuat akhirnya ia bisa memiliki hunian sendiri dan bekerja sesuai apa yang dicita-citakannya. Luar biasa bukan?

Karena nyatanya, dari segi mental pun fisik, Weynie memang lebih tangguh ketimbang Brian. Makanya tak ayal kenapa ia bisa memiliki wawasan yang lebih luas dan tanggung jawab yang lebih tinggi ketimbang kawannya.

Ya.. sekiranya kurang lebih begitulah seluk-beluk kehidupan si psikolog beruang ini. Sulit, tapi ia selalu bisa mengatasinya dengan senyuman luas.

"Lihat. Mereka akur lagi," cetus Brian setelah menyesap minumannya beberapa saat. Menunjuk dengan dagunya ke arah Achel dan Chiko yang kini terlihat tertawa luas dengan balok-balok lego susunan keduanya di atas rerumputan.

"Bukannya anak-anak emang selalu begitu ya?" Weynie melempar pertanyaan.

"Mereka bukan anak-anak lagi, Win. Tapi udah jadi remaja," sahut si kulit pucat.

"Tapi mereka masih ngegemesin kek anak-anak 'kan!?" lagi, lelaki itu bertanya padanya. Dan kali ini sahabatnya itu mengangguk, membenarkan.

"Kau tahu? Kemarin Achel membuat mural lagi di rumah," si dokter mulai mengisahkan.

"Oya? Di sebelah mana?" sambut lawan bicaranya dengan begitu antusias.

"Di tembok deket pintu kamarku," jawab Brian.

"Wow.. apa lagi yang dibuatnya kali ini?"

"Pohon. Tapi bukan pohon cemara pada hutan seperti sebelumnya."

"Hmm.. pohon mangga?" Weynie menebak, dan Brian terkekeh sesaat.

"Pohon sakura, Win," sahutnya. Dan psikolog itu mengangguk tanda paham.

"Waw.. itu pasti sangat indah,"

Hening, untuk beberapa menit setelahnya hanya ada suara hembusan angin yang menengahi mereka. Karena kedua pria muda itu nampak asik memandang ke depan, ke arah dua remaja yang kini terlihat sibuk berguling-gulingan di atas rumput sambil tertawa. Entah apa yang sedang mereka mainkan.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now