Baby.. Eight

2.7K 408 20
                                    

Sebuah mural indah pada dinding polos yang hanya menggunakan dua warna saja, tentu tak semua orang bisa melakukannya. Hanya para seniman tertentu yang dapat membuat itu.

Tapi..

Siapa sangka jika seorang muralis yang membuatnya adalah seorang ABK? Lebih menakjubkan lagi jika bisa mengetahuinya bukan?

Dan Brian tak menyangka hal itu akan terjadi padanya. Maksudnya, akan melihatnya langsung di rumahnya sendiri. Ia jelas tak pernah membayangkannya sebelum ini.

Pun sekarang ia hanya bisa ternganga saat melihat sosok seniman yang telah membuat mural indah tersebut di rumahnya.

"Aku gak nyangka kalo kamu seberbakat itu," gumamnya sendiri saat jemari kokohnya dengan lembut membersihkan tangan-tangan mungil si remaja yang berlumuran cat menggunakan tissu basah.

Bibirnya tersenyum tipis, memandang seberapa kecilnya jemari ranting yang ia genggam. Dan memandang seberapa polosnya anak itu yang kini tertidur lelap di atas kasur.

Ah, jari itu.. kecil sekali. Kurus sekali. Bahkan Brian kembali ingat saat pertama melihatnya tempo hari, banyak sekali luka memar kemerahan yang menyebar di setiap buku-buku jemarinya. Seperti bekas terjepit sesuatu.

"Bagaimana bisa anak seunik dirimu mengalami ini semua? Aku bahkan tidak tega untuk menyentuhmu lebih daripada ini, tapi di luar sana malah ada orang yang berani menyakiti tubuhmu yang ringkih," sendunya.

Kini jemari kokoh itu beralih membersihkan beberapa noda di wajah mungil tersebut. Dengan telaten dan pelan-pelan ia mengusapkan tissu basah dalam genggamannya pada setiap inci dari pahatan Tuhan yang maha sempurna itu.

Cantik sekali.

"Tak seharusnya anak sepertimu mengalami ini semua, Achel. Kau terlalu rapuh, lebih rapuh dari gelas kaca, hingga aku bahkan takut akan melukaimu," lanjutnya.

Tentu saja ia berbicara sendirian karena bocah itu masih terlihat asik berlayar dalam mimpi indahnya dengan dengkuran lembut terdengar keluar dari belahan persik jingganya yang ranum. Wajah teduh itu menjelaskan seberapa lelah dirinya melakukan hal yang lebih dari apa yang diperintahkan si dokter sewaktu pagi tadi.

Namun entah kenapa desiran darah hangat dalam dada Brian kini justru mengalirkan perasaan yang memilukan. Menatap lapat-lapat wajah Achel justru kembali mengingatkan dirinya akan mendiang Felix. Melihat tingkah polosnya, pun membuatnya kembali teringat akan adik kecilnya itu kembali.

Brian rindu Felix. Amat merindukannya.

Surai gelap yang menutupi kening halus itu diusap lembut oleh jemari kokoh sang pria. Memperjelas bagaimana bentuk rupawan dari sosok ringkih yang berbaring itu.

Tes!

Namun siapa sangka jika saat itu juga ada setetes air mata yang jatuh ke pipi pucat Brian. Mengalir lembut menuju dagunya tanpa hambatan.
Hatinya mencelos, desir darahnya kian melaju, kenangan indah namun menyakitkan kembali menumpuk dalam pikiran, sedang wajah itu seolah kembali muncul meski dalam bayangan.

"Hiks.. Achel, kalo kamu emang dateng sebagai pengobat akan rinduku pada Felix, apakah aku boleh terus menjagamu hingga nanti?" gumamnya lirih, dan entah kenapa suara isakan itu justru terdengar menjelas. Padahal tidak ada satupun hal yang mengharuskannya keluar.

Bayangan tragedi itu kembali berputar. Tumpang-tindih dengan bayangan kecelakaan beberapa hari yang lalu.

Senyuman anak lima belas tahun dulu kembali menguak, bersambut dengan senyuman remaja delapan belas tahun yang kini ada di hadapannya.

Brian semakin terisak.

Tangan besarnya mengusap halus pipi tirus dengan sisa-sisa lebam yang hampir sempurna memudar di permukaannya. Memandang seberapa panjang bulu mata itu, memandang seberapa runcing hidung itu, memandang seberapa ranum bibir mungil yang ada di hadapannya itu.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now