Baby.. Twenty Nine

1.6K 260 30
                                    

Weynie memantik rokoknya sembari terus melihat ke arah depan, kepada dua remaja yang sedang asik bermain bola sekitar sepuluh meteran dari tempatnya duduk saat ini. Sementara di sebelahnya ada Brian yang asik memakan cemilan. Keduanya sudah begitu sejak mereka datang sekitar satu jam yang lalu di taman ini.

Brian memandang Achel dengan intens, memerhatikan setiap detail dari gerakan si manis yang menurutnya tak pernah gagal membuatnya gemas sendiri. Apalagi ketika rambut gelapnua bergoyang-goyang tertiup angin, sedangkan matanya memandang ceria pada teman bermainnya yang sedang mengoper bola.

Duk!

Kali ini tendangan Chiko itu melambung lebih tinggi dari yang sebelumnya. Dan bola yang mereka mainkan menggelinding jauh hingga masuk ke semak belukar yang hidup di sekeliling pohon mahoni besar pada tepian taman. Tak lama kemudian Brian melihat Achel berlari-lari kecil menuju kemana perginya si bola tadi. Tapi..

Tiga menit..

Lima menit..

Sepuluh menit..

Hampir lima belas menitan anak itu tak kunjung memunculkan sosoknya lagi dari balik semak-semak. Sedangkan Chiko yang menunggunya sudah nyaris mati bosan, dan membuat Brian yang sejak tadi menantikannya mulai merasa cemas. Sebegitu jauhnya 'kah si bola pergi hingga sulit untuk dicari?

"Kemana Achel?" tanya si dokter tak tertahan kala Chiko datang mendekat dan mengambil sepotong roti dari kotak bekal milik kakaknya. Tapi yang ditanya hanya mengedik pelan, tanda tidak tahu. Atau mungkin tidak peduli.

"Loh? Achel 'kan tadi main sama kamu, Chik!" Weynie ikut bertanya pada adiknya. Lintingan rokok yang ia hisap pun segera diinjak menggunakan ujung sepatunya.

"Bolanya pergi. Si Achel ikutan pergi," jawab Chiko tidak nyambung sama sekali.

Merasa ada yang tidak beres, Brian pun segera beringsut bangun dan bergegas menuju arah dimana si manis terakhir kali di lihatnya. Ke arah semak belukar, di balik pohon mahoni. Tapi langkahnya terhenti di tengah jalan, sebab sosok yang ia cemaskan kembali muncul dengan kepala tertunduk. Berikut bola yang nampak sudah kempes, entah kenapa.

"Achel?" Brian menyebut namanya dengan wajah bingung.

Remaja itu mengangkat kepalanya dengan netra sembab dan wajah memerah, sebelum tangannya membuang asal bola Chiko yang kempes dan lari berhambur ke pelukan si dokter. Pun kemudian hanya berselang beberapa detik, suara tangisannya terdengar memecah genderang telinga.

"Hiks... Byan.. hiks.." isaknya dengan wajah bersembunyi di dada bidang si dokter.

"Achel kenapa? Achel kok nangis? Bolanya kempes?" Brian jadi bingung sendiri. Namun samar-samar ia merasakan jika tubuh sosok ringkih yang memeluknya kini terasa bergemetar.

Astaga, apa yang sudah terjadi? Kenapa Achel bisa mengalami gejala tremor lagi?

"Achel kenapa? Achel bilang sama Byan," titah yang dewasa. Tapi remaja itu terus menangis tersedu-sedu dalam pelukannya, entah apa sebabnya ia berlaku demikian.

"A-Achel.. hiks.. mau pul-pulang.. m-mau pulang," bisiknya dengan suara serak.

Saat itulah Weynie serta Chiko datang mendekati keduanya dengan wajah sama-sama bingung. Tapi salah satu dari adik-kakak tersebut tak lama kemudian langsung berseru dengan begitu lantang.

"IIIHH.. BOLA CHIKO KOK JADI ROBEK GINI SIIIH!? ACHEL KOK JAHAT SIIIHH!!?" cercanya tak terima mendapati jika mainan yang ia bawa kini rusak.

"Ssttt.. Chiko, jangan teriak-teriak! Achel-nya lagi nangis tuh!" Weynie menunjuk Achel yang masih tersedu-sedu di pelukan Brian, dan mencoba menahan agar Chiko tak mengamuk di taman itu karena bolanya rusak.

The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now