Baby.. Forty Six

1.9K 268 140
                                    

Suara itu terdengar berat lagi serak, sedangkan tangannya yang mungil kian memeluk erat boneka kucingnya. Manik karamel gelap itu bergerilya ke sana-sini seolah tengah mencari sesuatu. Pandangannya nanar, takut, cemas dan was-was menjadi satu, sementara air matanya tak henti terus mengalir beriringan dengan bibir yang masih mencicitkan nama si dokter berulang kali.

"Kok Achel malah nangis?" Brian mengusap punggung tangan ringkih itu dengan perlahan, sedang Agatha di seberangnya terlihat tengah berusaha mengusap rambut si anak karena tak dapat menggenggam tangannya.

"Yaann.. hiks.. Byaaann.." cicitan suara kecil itu terdengar lagi.

"Byan ada di sini, Chel. Gak usah nangis lagi ya," sahut yang dewasa. Namun Achel malah semakin terisak-isak, air matanya terus mengalir disertai dengan dada yang naik-turun tak beraturan. Manik karamel manis itu masih bergerak tak tentu, melirik pada semua wajah yang ada di sana dengan tatapan takut, sedang tangannya pada boneka yang dipeluknya terlihat semakin menguat.

"Gak papa, gak akan ada yang nyakitin kamu lagi kok abis ini. Gak usah takut lagi ya," tambahnya berusaha mendiamkan suara isak tangis si manis.

"Marcel.. ini Mama, sayang. Kamu masih inget sama Mama 'kan?" Agatha kembali berucap untuk berinteraksi lagi dengan anaknya. Tapi Achel malah menggeleng takut, dan lagi-lagi ia menepis tangan si ibu yang berusaha menggenggam telapaknya. Dan wajah was-was itu kian menjadi-jadi.

"Sayang, ini Mama kamu.." lirih ibunya.

"Agatha, sebaiknya kita berikan dia waktu dulu untuk terbiasa dengan kehadiran kita. Dia pasti takut karena merasa asing," suaminya berkata sambil menyentuh kedua bahu ringkih sang istri lembut dari belakang.

Agatha terisak, memandang anaknya dengan nanar sebelum berbalik dan memeluk Ludwig lalu menangis di dadanya yang bidang.

"Aku merindukannya.. aku ingin memeluk anakku lagi seperti dulu.. hiks.. aku sudah menunggunya selama empat belas tahun sejak hari itu, tapi ia malah melupakanku.." tangisnya pecah.

"Dia tidak melupakanmu, percayalah.. ia hanya butuh waktu untuk kembali mengingat siapa dirinya dan juga kita," jawab sang imam sambil mengusap lembut surai panjang nan legam pasangannya. Sedang manik teduh itu justru terpusat pada si manis yang masih terisak dan mencicit, memanggil nama dokter muda yang ada di sisi ranjangnya.

Brian jadi bingung sendiri, ia merasa bersalah pada orang tua Achel karena anak mereka malah lebih memilih dirinya dibanding keluarganya. Namun tak bisa disalahkan juga, karena bagaimana pun Achel memang merasa asing dengan kehadiran Agatha serta Ludwig di sana. Namun mendadak teringat sesuatu di dalam kepala dokter muda itu.

"Byan.. Ach-Achel ma-u.. hiks.. pu-lang.."

"Iya, nanti kita pulang ya. Tapi Achel pulangnya sama Mama dan Papa Achel, bukan sama Byan lagi," jawab si dokter dan mengalihkan tatapan pada Agatha serta Ludwig di seberang ranjang. Pun membuat si manis ikut mengalihkan perhatian sejenak pada mereka.

Namun alih-alih mengangguk, anak itu justru menggeleng, menolak ucapannya dan kembali mengucapkan kata yang sama; ingin pulang.

Brian menghela napas kasar, ia mendekatkan wajahnya dan mengusap surai legam itu sambil berbisik pelan.

"Udah waktunya kamu kembali ke keluargamu, bintang kecil. Dalam galaksi yang indah dipenuhi gemerlap cahaya terang, yang akan membuatmu nyaman serta hangat saat berada di sana," ucapnya sendu, namun Achel kembali menggeleng. Entah karena ia tidak mengerti dengan kalimatnya atau memang ia berusaha menolak lagi. Sampai...






Twinkle, twinkle
Little star
How i wonder what you are
Up above the worldso high
Like a diamond in the sky
Twinkle, twinkle
Little star
How i wonder what you are








The Pacifier ✔ [Banginho] Where stories live. Discover now