BAB 13

347 109 19
                                    

"Tuhan mempertemukan aku dan kamu bukan untuk dipersatukan, hanya disatukan namun tidak untuk bersama."

***

Samuel memasuki rumahnya malam hari. Ia baru saja pulang dari studio musik miliknya. Samuel memulai usahanya sendiri dari keringatnya sebagai seorang endorsment. Beruntung Samuel memiliki wajah tampan.

Samuel memang menyukai hal-hal yang berbau dunia musik. Impiannya ingin menjadi seorang musisi. Itu sebabnya, Samuel suka mendengarkan musik.

Samuel berjalan menaiki tangga. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara panggilan seseorang.

"Uel?"

Tubuh Samuel mematung. Ia mengingat dengan jelas suara seseorang yang memanggilnya. Seketika amarah menyuak dalam dadanya.

Samuel membalikan badannya. Orang itu tengah duduk santai di sofa. Tangannya terkepal erat. Matanya menatap tajam ke arah orang itu.

Orang itu berjalan ke arah Samuel. Penampilannya sudah dewasa. Jas berwarna silver melekat pada tubuh tegapnya. Bola mata yang sama seperti bola mata milik Samuel.

"Apa kabar?" tanya orang itu basa-basi.

Samuel terkekeh sinis. "Mau apa lagi?" Samuel tidak menjawab pertanyaan orang itu.

"Gue—"

"Belum cukup sama kejadian empat tahun lalu? Ngapain lo ke sini lagi?" tanya Samuel tajam.

"Uel," tekan orang itu. Orang itu menghembuskan napasnya kasar. "Itu semua udah berlalu. Semuanya udah berakhir. Lo gak perlu ngungkit kejadian itu lagi," lanjutnya dengan wajah frustasi.

Samuel terkekeh sumpang. "Udah berlalu kata lo? Semua ini karena lo sama dia! Gue kehilangan orang yang paling gue sayang!" tekan Samuel.

"Bukan cuman lo yang ngerasa kehilangan, gue juga. Apa lo pikir gue gak merasa kehilangan? Gue selalu dihantui perasaan bersalah," lirih orang itu.

Samuel mengepalkan kedua tangannya. Ia menarik kerah orang itu. "BERSALAH KATA LO!" murka Samuel. "Kemana aja lo selama ini!? Pergi setelah dia gak ada!"

"Di sini gue yang selalu merasa kehilangan. Gue selalu merasa kesepian! Lo sama tuh baj—arghhh!"

Samuel berjongkok. Kenangan pahit itu berputar kembali. Tangisan akan kehilangan itu seakan membuat seorang Samuel lemah.

Samuel menangis. Orang itu ikut berjongkok. Dia merasa sama halnya dengan Samuel, kehilangan yang mendalam.

Orang itu mengusap bahu kiri Samuel. Ia merasa pilu ketika melihat Samuel menangis.

"Tolong, berdamai dengan masa lalu," pinta orang itu.

Samuel menepis tangan orang itu. Ia kemudia bangkit. Samuel menatap tajam ke arahnya.

"Apa dengan berdamai lo sama tuh orang bisa ngembaliin dia? Enggak, kan."

"Samuel!" tekan orang itu. "Dia udah tenang. Gue mohon, kembali seperti Uel kecil yang mudah memaafkan," pintanya.

Samuel tersenyum miring. "Samuel yang dulu udah mati."

***

Kanna berdecak. Sejak tadi ia hanya memperhatikan jam dinding dan menghitung setiap detiknya. Ia bosan. Sangat bosan.

Tristan pulang dulu untuk berganti pakaian. Dan, Kanna harus menunggunya. Kanna menghembuskan napas kasar.

"Arghhh! Gue bosen!" teriaknya kesal. Kanna berdecak. "Masa gue harus ngomong sama diri gue sendiri sih?"

TENEBRIS Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora