flight 1✈️

7.2K 597 34
                                    

(Trailer See You Captain!)


Jogja, 4 tahun yang lalu ...

Seorang gadis meraung tiada yang bisa menghentikannya. Tangis dan jeritannya sungguh menyedihkan. Penampilannya yang tampak acak-acakan membuatnya semakin tidak karuan. Segelintir orang di sana dengan pakaian senada mencoba menyalurkan ketegaran untuknya.

Jeritnya semakin menjadi, ketika satu peti mayat keluar dari pesawat yang membawa jenazah itu. Baju putih yang semula ia kenakan untuk menjemput jenazah itu kini tampak lebih berantakan.

Ia menangisi seseorang yang kini berbaring membeku di dalam peti mati yang baru saja dibawa dari Jakarta. Mencoba menepis sekuat tenaga orang-orang yang menahannya. Berlari menghampiri peti yang tengah didorong ke arah sekerumun orang berbaju putih.

"Ayah!" Teriaknya yang sedari tadi tak henti.

Pilu, dan menyayat.

Ayah adalah cinta pertama yang ia kenal. Dan sekarang ia kehilangan cintanya.

"Ayah bangun!"

"Ayah!"

Sesak. Siapapun yang menyaksikan hal ini akan merasakan sesak tak terkira.

"Ayah bangun! Ayah janji sama Dama, ayah cuma pergi bentar! Ayah jangan bohongin Dama! Ayah bangun!"

Tangannya terus memukul peti jenazah itu. Menyalurkan rasa sesak dan sakitnya ditinggalkan. Menyalurkan pedihnya rasa kehilangan.

"Ayah bangun," ia terisak hingga ucapnya melemah.

Bruk.

Tubuhnya ambruk tak lupa dengan wajahnya pucat.

Pemandangan memilukan. Sangat-sangat memilukan.

Tangan kekar yang sigap dari seseorang di belakangnya langsung menahan dan membopongnya menjauh untuk mendapat pertolongan. Di susul beberapa orang yang juga turut membantu.

---

Sirine ambulans membawa jenazah berbunyi nyaring di sepanjang perjalanan ke rumah duka. Diiringi beberapa mobil di belakangnya yang berjejer rapih.

Tirto Suwiryo.

Ayahnya telah berpulang. Ayahnya telah terlelap. Membeku kaku. Dan kian memucat.

Kedatangan jenazah di rumah duka sangat di nanti. Tenda dengan kursi berjajar telah penuh sekerumun orang yang datang untuk melayat.

Sedangkan di mobil ambulans yang mengiring di belakang mobil jenazah, masih ada seorang gadis yang belum juga mendapatkan kesadaranya kembali. Oksigen di hidung dan minyak angin tak lagi mampu untuk sekedar membuatnya membuka mata. Kecuali ayahnya. Ayahnya yang kini, tak lagi bisa membangunkannya seperti di hari sebelumnya.

Tangis keluarga pecah seketika saat peti jenazah itu dikeluarkan dari ambulans. Bahkan semakin pilu ketika melihat brankar didorong dengan gadis yang tertidur pulas di atasnya.

Hancur.

Seseorang yang pamit pergi beberapa waktu lalu dan berjanji akan kembali secepatnya kini datang hanya untuk pergi kembali. Pergi selamanya dan tak mungkin membawa kabar untuk kembali pulang ke rumah.

Keluarga itu terlihat hancur. Kebahagiannya telah direnggut. Bahkan rumah besar dan kokoh yang mereka miliki, seakan runtuh kehilangan pondasinya.

"Ayah," ujar gadis itu dengan lemah di atas brankar dengan hidung tersumpal selang oksigen.

"Ayah."

Ia telah bangun dari ketidaksadaranya. Yang kemudian kembali tertampar oleh kenyataan di hadapannya. Benar-benar bukan mimpinya.

Ia benar-benar kehilangan penopangnya.

Isaknya pelan namun sangat memilukan. Tangis yang sempat terhenti kini berlanjut kambali.

"Ayah... bangun, ayo bangun buat Dama," ujarnya dengan harap-harap.

"Ayo bangun ayah."

---

"Dama ...-" Panggil seseorang terpotong yang tak kalah menyedihkan darinya.

"Biarin Dama di sini Ma. Ayah butuh Dama," katanya yang tidak dapat dicegah lagi oleh Tanti, ibunya.

Tanti mengangguk mengerti dan memberikan ruang pada putri satu-satunya.

"Mama tunggu di mobil, jangan lama-lama ya?" Kecupan sayang ia berikan sebelum langkahnya membawa menjauh ke mobil.

Desir angin di tanah pemakaman itu seakan mengiringi kesedihannya. Kini di depan gundukan tanah yang masih basah itu, tinggalah ia berdua.
Ia dan ayahnya.

Air mata yang sempat mengering itu kembali mengalir walau beberapa kali disekanya kuat-kuat.

"Ayah. Tunggu Dama."

"Dama bakal dateng buat Ayah."

"Dama bakal terus deket sama Ayah."

"Tunggu Dama," monolognya disela sesak dan lelahnya menangis seharian.

Rintik hujan ringan yang turun seolah ikut memeluknya. Seolah ayahnya datang dengan hujan dan merangkulnya. Seolah ayahnya datang menyejukkannya.
Hujan yang menjadi saksi perih dan hampa dalam hidupnya yang akan segera dimulai dengan kekosongan, yang menyakitkan.

Bersambung...

Hallo terima kasih udah baca part 1

Jangan lupa berikan dukungan vote dan komen, yaa🫧🌊

Jangan lupa follow akun sosial media ku untuk info terbaru.

Jangan lupa follow akun sosial media ku untuk info terbaru

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.
 See You Captain!(END)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora