flight 27✈️

1.1K 161 16
                                    

Rossa ~ Kepastian

Secercah dari rasa yang tumbuh, saat hatimu memihak pada hatinya.

See You Captain by fassaarei_


Runtuh ...

Hari ini hujan hampir seharian dengan deras mengguyur Jogja, melumpuhkan sebagian kegiatan dari hiruk pikuknya.

Sejak seharian pula, Dama hanya berguling-guling di atas kasur. Memutar-mutar ponselnya yang nampak kosong tanpa notif dari siapapun itu. Melakukannya berulang kali hingga ia bosan.

Sebenarnya bisa saja ia sudah tertidur sedari tadi. Tapi sialnya, setiap matanya tertutup selalu saja ada seseorang yang mampir seenaknya di pikiran Dama. Berulang kali ia terus mengusir namun tetap saja kembali hadir. Hidupnya semakin tidak mendapatkan ketenangan saat bayangan itu muncul.

Ada hal yang ia takutkan, namun tak dapat pula ia pastikan. Ada hal yang harusnya ia hindari, namun justru alam selalu mempertemukan.

"Dama?!" lagi-lagi untuk kesekian kalinya Dania berteriak memanggilnya.

"Iya mbak," ia keluar dari pintu yang semula terkunci rapat.

"Di panggil dari tadi juga," kesal Dania yang juga terpengaruh hormon kehamilannya.

"Dama tidur, ngga denger. Kenapa?" bohongnya.

Bukannya menjawab Dama, Dania justru mengulurkan handuk yang terlihat baru saja di keluarkan dari lemari, "keringin orang di depan."

Dama yang tidak paham maksud Dania pun hanya menatap bingung antara handuk dan Dania yang sudah pergi ke dapur. Walaupun begitu, tak urung ia tetap melangkah ke teras guna melaksanakan tugasnya.

Langkahnya seketika terhenti kala mendapati seseorang dengan rambut dan sebagian pakaiannya yang terlihat basah.

Nggak, nggak boleh. Dama, ini salah.

Jantungnya berdegup kencang.

Sepersekian detik ia sempat tertegun, Alfan kembali mendatanginya setelah kejadian itu. Lantas apa ia benar memaafkan Dama.

"Capt?" panggil Dama di ambang pintu membuat Alfan yang sedang mengibas-ngibaskan sisa air di tubuhnya menjadi terhenti.

Seperti biasa, hal pertama yang ia lakukan. Dengan senyum terbaiknya hingga ke mata yang menyipit. Sesaat membuat Dama menjadi tertampar oleh hal yang belum pernah ia rasakan.

"Hai?" Sapa Alfan yang lagi-lagi membuat Dama merasakan hal yang tidak wajar.

Sekarang ia mengerti maksud Dania memberikan handuk ini.

Ia mengulurkan handuk di tangannya untuk Alfan, agar pria itu segera mengeringkan tubuhnya yang setengah basah.

"Terimakasih," Alfan mengambilnya tanpa mengalihkan matanya dari Dama, begitupun sebaliknya.

"Tunggu bentar ya," ujar Dama dan segera menghilang masuk ke dalam rumah tanpa menunggu jawaban Alfan.

Di luar, Alfan sudah senyum-senyum tidak jelas. Di tatapnya handuk yang diberikan Dama tadi dengan mata berbinar. Bukannya malah sibuk mengelap rambutnya yang basah, ia malah sibuk berhalusinasi dengan handuk yang berada di dalam dekapannya.

"Minum ini dulu, biar hangat," Dama kembali dengan secangkir teh hangat untuk Alfan.

Tanpa menunggu lama lagi, Alfan langsung meminumnya tanpa memperhatikan tingkat kepansan dari air teh itu.

Awwss

Dama yang baru saja akan menginterupsi untuk meminumnya secara perlahan, kini malah di buat bingung karena Alfan sudah merintih kepanasan di lidahnya.

Hingga reaksi alami dari Dama yang kebingungan sekaligus panik membuat Alfan mematung dalam keadaan memeletkan lidah yang sudah memerah menahan panasnya.

Dama meniup-niup pelan lidah Alfan, yang membuat empunya seolah terhipnotis, ekspresi khawatir dari Dama semakin membuat Alfan diam seribu bahasa. Di tambah jarak wajah mereka yang sangat dekat.

Antara keberuntungan yang ia dapat dan rasa panas kini menyatu sudah.

"Masih sakit?" Tanya Dama yang menghentikan tiupannya saat Alfan sudah lebih tenang.

Bukannya menjawab, Alfan malah diam begitu saja. Ia seolah menemukan Dama yang baru.

Dama yang sangat perhatian.

"Lumayan reda," ujarnya yang menjadi sedikit cadel.

Dama hanya mengangguk dan menghilang lagi untuk mengambil air putih di dalam.

"Minum ini, biar ngga panas lagi."

Hati Alfan berdesir hangat. Jantungnya bertalu-talu. Seolah rasa sakitnya mereda dengan hadirnya Dama.

---

Hari semakin sore hujan pun masih deras, dan Alfan masih betah berlama-lama di rumah Dama. Entah sampai kapan lelaki itu punya niatan untuk pulang.

Dama hanya kurang nyaman jika berada di dekat Alfan. Rasanya aneh. Dan hanya ia yang tahu bagaimana rasanya.

Dua jam pula, mereka terlibat rasa canggung. Dama yang mendadak membisu dan Alfan yang juga enggan memulai pembicaraan, seperti bergelut dengan dirinya masing-masing.

"Dama," rupanya memang harus Alfan dulu yang memulainya.

Dama hanya berdeham sebagai jawaban.

"Saya mau ngomong serius," Dama menoleh.

Bukannya melanjutkan perkataannya, Alfan justru mati kutu. Bibirnya mendadak kelu. Seakan kata-kata yang ia rangkai kini hilang begitu saja.

"Tidak jadi," lanjutnya dengan kekehan yang di paksakan, membuat Dama semakin dongkol saja di buatnya.

Tanpa Dama tahu, Alfan ternyata mati-matian menahan sesuatu. Hatinya mendukung, namun logikanya mengatakan tetap diam.

Beberapa saat hujan mereda, pikir Alfan dari pada ia berlama-lama di samping Dama yang membuatnya semakin menggigil, ia pun memutuskan pamit undur diri.

"Hujannya sudah reda, saya pamit dulu."

Dama turut berdiri saat Alfan beranjak dari duduknya. Tanpa Alfan tahu pula, Dama diam-diam mendesah kecewa.

Alfan kali ini berbeda dari Alfan yang kemarin-kemarin. Ia lebih banyak diam hingga membuat Dama berfikir tentang kesalahannya yang sebenarnya ia tidak tahu persis dimana.

"Saya pamit," Alfan benar-benar berada di mode irit bicara.

Dama hanya mengangguk, dan memperhatikan Alfan yang semakin menjauh darinya.

"Dama!" panggil Alfan di ambang pintu mobil yang di buka.

"Saya akan berjuang untuk mendapatkan air itu!"


Deg.

Bersambung...

✨✨

SALAM SAYANG!

 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now