flight 40✈️

1K 133 2
                                    

Samsons - Di Ujung Jalan

"kalian harus buat strategi, gue mikirnya jangan-jangan Dama udah bergantung sama obat itu sejak lama."

"Lo ngomongnya enak, sini yang bunek," sahut Tara dengan suara pelan namun penuh penekanan.

"Ya masa harus gue, ga mungkin juga elah."

"Ya lo bantu kek, apa kek. Saran terus juga kalau ga ada prakteknya tetap aja hasilnya zonk!"

"Iya pasti gue bantu, ya gusti. Cuma masalahnya ya emang dominannya ke kalian."

"Lo dari tadi ngoceh ngga masuk ke poin Sat. Kuping gue udah panas denger suara lo," giliran Rauna yang menyahut.

Dari sebrang terdengar helaan nafas lelahnya, "gue kasih tahu, ini obat dosisnya tinggi banget. Kemungkinan kalau dia konsumsi terus,bisa-bisa sakau. Seperkiraanku gue, Dama konsumsi obat ini cuma di saat-saat dia stres aja atau pas malam karena ga bisa tidur tenang."

"Gue juga ngga tahu sih dulunya Dama gimana. Tapi keluarga juga ngga tahu kalau Dama konsumsi ini."

"Jadi intinya, mulai besok malam kalian ngga boleh biarin Dama tidur di kamar dia sendiri. Atau paling ngga jangan biarin dia masuk ke kamar lebih awal dari pada kalian. Intinya kalian harus pastiin Dama tidur dulu sebelum kalian yang merem," tuturnya yang akhirnya bisa di pahami Tara dan Rauna.

"Keluarga dia ngga tahu hal ini sama sekali?" Tara yang mendengar sepenggal kalimat dari Satria menjadi terkejut.

"Kemungkinan gitu, karena Dama juga udah pulih sejak lama," ujar Satria

Percakapan mereka usai, saat pintu kamar Dama terbuka.
"Loh kalian belum tidur?" herannya melihat Rauna dan Tara yang masih betah duduk di singgasananya.

Tara dan Rauna sempat menegang, takut-takut jika Dama mendengar percakapannya dengan Satria.

"Oh-em mau tidur kok tadi, em tapi gerah. Iya gerah jadinya ngga jadi," gugup Tara sambil menyikut kecil Rauna di sampingnya.

"Iya gerah banget di kamar. Keyaknya kita mau tidur di sini aja paling," tambah Rauna.

Sedangkan Dama hanya menyerngit bingung. Ia malah merasakan dingin, sedangkan kedua temannya malah merasa gerah. Ini musim dingin bukan kemarau kan?

"Kamu sendiri, belum tidur?" giliran Tata yang mengalihkan suasana.

"Em, enggak. Aku lagi cari sesuatu," jawabnya.

"Mau kita bantu ngga? Siapa tahu kita liat barang yang kamu cari," tawar Rauna yang langsung di tolak oleh Dama.

"Eh ngga usah! Aku bisa sendiri kok, lagian mungkin cuma lupa naruh."

Tara yang mengerti maksud barang yang di cari Dama pun semakin gencar untuk mendesak, agar gadis itu segera berkata jujur pada mereka.

"Ngga papa Dama, siapa tahu kalau di cari bareng ntar cepet ketemu."

"Eh kalian tidur di kamar aku aja yuk, kamar kalian gerah kan?" tawarnya agar keduanya tak lagi memaksanya untuk mencari barang tersebut.

Sebersit ide dan rencana yang ada di otak Tara menjadi bersorak ria saat hampir mendapat lampu ijo.
"Ayok!"

Rauna pun hanya mengikut dan masuk ke dalam kamar yang bisa dibilang lebih rapih dari kamar keduanya.

Mata Rauna pun tak tinggal diam seperti mulutnya tang mendadak bisu, ia terus menelisik barang-barang apakah yang bisa mendukung rencananya.

Hingga tatapannya jatuh pada meja di depan jendela, di atasnya terdapat sebuah buku yang ia akui ia tak memiliknya. Buku itu benar-benar menarik perhatiannya.

"Dama, kamu suka nulis ya?" ia keduluan Tara.

Sedangkan Rauna, memilih mengamati mimik wajah Dama yang mulai berubah. Seperti terkejut dan ... was-was?

"Oh enggak kok. Ini cuma biar aestetik aja makannya aku taruh di sini," ujar Dama yang langsung berjalan ke arah meja.

Rauna dengan gesit langsung menarik kursi di depan meja itu dan menyentuh buku tersebut. Reaksi apa lagi yang ia ingin tahu saat buku itu tersentuh orang lain selain pemiliknya.

Seketika Dama pun menenggang di tempat.

"Boleh lihat kan?" tanya Rauna yang telah sepenuhnya fokus pada buku harian di hadapannya.

Ia tahu,ini salah. Ia juga tak ingin bermaksud lebih ataupun ikut campur. Tapi ia hanya ingin sedikit lebih tahu tentang Dama. Hanya itu.

Beberapa saat akhirnya Dama mengangguk memperbolehkan, walau saja itu jelas terlihat amat berat untuknya.

Buku itu sudah ia putuskan untuk di tutup, dan sekarang justru buku itu akan di buka kembali.

Rauna menatapnya berbinar, mengabaikan tatapan isyarat dari Tara yang berada di belakang Dama.

"Bukunya bagus banget, Rauna belum pernah punya buku kaya gini. Dulu belinya di mana?"

Jauh dari yang Tara pikirkan, ternyata Rauna tidak bermain lebih dalam. Ia hanya menilik sampul buku itu depan belakang.

"Di kasih, iya dulu di kasih kakak ipar aku," ujar Dama bohong dan hanya ia di antara mereka yang tahu.

Namun, tidak dengan Rauna. Ia jelas tahu bahwa Dama tengah menutupi sesuatu.

"Dama, kita ngga tahu apa yang terjadi sama kamu. Tapi kita akan selalu ada buat kamu. Itu kan gunanya sahabat? Una tahu, buku itu juga sahabat Dama mungkin. Tapi sekarang Dama punya dua sahabat lagi. Una sama Tara, sahabat Dama."

"Kalau sama buku itu Dama bisa cerita karna dia sahabat Dama. Dama juga harus cerita, sama Una dan Tara karna kita sekarang sahabat," jelas Rauna yang kini merengkuh bahu Dama dari samping kiri, di susul Tara yang juga turut merangkul di bahu kanan.

Ada rasa haru yang Dama rasakan ketika pelukan dua orang itu yang merangkap menjadi sahabatnya.

Di lihatnya ketulusan dari sepasang mata yang dimiliki Tara dan Rauna, ia semakin yakin untuk tak lagi memendam semuanya sendirian.

Ia telah memiliki hal yang dulu belum ia miliki.
Walaupun, ia harus melepas hal yang memang belum pernah ia genggam sebelumnya.

Dama mengangguk dengan senyum yang kini terbit.

"Jadi, ayo kita cerita!" seru Rauna yang mendapat kekehan dari keduanya.

Dama hanya mengangguk, namun tak lupa dengan senyum terbaik yang ia miliki.

"Ayo!" Tara pun sama.

Bersambung...

Selamat berpuasa bagi yang menunaikan✨
Semangat ya puasanya!

Selama Ramadhan, Mow nanti up rutin lagi ya🧡
Biar nemenin kalian.

Yang mau, angkat ✋

See You!

 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now