flight 45✈️

957 144 29
                                    

I will go to you like the first snow

" Bukankah Tuhan adalah segala pemilik cara dan kehendak. Lalu bolehkah aku meminta cara lain Tuhan mempertemukan kita?"


See You Captain!
By fassaarei_

Tolong jangan seperti ini ...

Dua malam telah berlalu, sekarang giliran Dama-lah yang menggantikan Tara menginap bersama Rauna di rumah sakit. Sejak dua hari mereka tidak berkomunikasi, hal itu di karenakan kondisi Dama yang tiba-tiba drop dan membutuhkan istirahat yang cukup.

Langkah menapaki lantai dingin rumah sakit, berbekal dengan tas ransel berukuran sedang. Berisikan baju ganti dan segala keperluannya. Rumah sakit ini cukup jauh dari rumah sewanya, dan ia tak mau ada satu barang pun yang tertinggal dan pada akhirnya merugikannya.

"Dama, harusnya kamu ngga usah dateng. Aku denger dari Satria kamu ngga enak badan," ujar Rauna saat menjemputnya di lantai satu, dengan yang tampak lebih baik dari sebelumnya. Hari ini, gadis itu kembali menampakkan senyumnya.

"Aku ngga papa kok, lagian aku kesini juga udah bawa vitamin sama obatnya."

"Kamu yakin ngga papa?" Dama mengangguk mantap.

"Sini, Una bawain tasnya. "

Dama ingin menolak, tapi itu tak akan membuat Rauna menyerah. Ia pasti akan memaksa untuk mendapatkannya.

"Udah ada perkembangan dari kakak kamu?" pertanyaan itu muncul begitu saja dari Dama.

Una tersenyum tipis, "belum."

Melihat hal itu entah mengapa membuat Dama merasakan perih berkali-kali lipat. Lebih baik ia melihat Una menangis untuk meluapkan emosinya, dari pada melihat Una memakai topengnya untuk menutupi luka.

"Belum bukan berati enggak kan? Masih ada harapan, kita terus berdoa ya?"

"Una selalu berdoa, kak Ariya kuat. Dia nggak akan lemah apalagi nyerah."

"Dama percaya. Kak Ariya ngga akan kemana-mana. Dia cuma istirahat bentar. "

"Atau mungkin akan lebih lama."

"Una ngga boleh ngomong gitu, semua pasti akan baik-baik aja pada masanya."

Mendengar ucapan Dama sebenarnya mampu untuk menguatkan hati Rauna. Tapi mengigat ucapan dokter sehari yang lalu. Rasanya semua yang di katakan Dama hanya akan sia-sia.

"Kemarin, dokter bilang. Dalam jangka waktu empat hari kedepan kalau kak Ariya belum juga ada perkembangan. Dokter terpaksa melepas semua alat di tubuh kakak."

"Dan waktu empat hari yang di katakan dokter, sekarang cuma tinggal tiga hari. Harapannya tipis Dama. Mama sama papa juga udah ikhlasin kakak. Ngeliat kakak terbaring gitu lebih lama, kita ngga tega."

"Dia pasti kesakitan, tapi disini kita terus maksa dia buat bertahan. Una ngga mau jadi orang yang paling egois buat maksa kakak tetap ada sama Una. Una ngga bisa, buat lihat kakak harus ngerasain sakit lebih lama."

"Karena mungkin sekarang bagian terbaiknya adalah belajar mengiklaskan," ujarnya dengan senyum yang amat pedih di akhir.

Dama yang mendengar hal itu, seketika terduduk lemas di kursi depan ICU. Pikirannya melayang, apakah ia akan menjadi satu diantara jutaan manusia yang akan menyaksikan titik akhir seorang manusia yang sebenarnya. Hanya dengan membayangkan saja rasanya hatinya sangat sakit. Lalu, bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi.

"Una percaya sama dokter?" Una mengangguk mengiyakan, "Dokter mungkin bisa menduga. Tapi disini cuma Allah yang tahu segalanya. Una tahu, Allah ngga akan ingkar pada makluknya? Tapi kenapa Una ngga menaruh percaya sama Allah? Kenapa Una ngga terus minta sama Allah? Dan nyerah kaya gini?"

 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now