flight 44✈️

1K 135 20
                                    

BCL - KuasaMu

*bacanya pelan-pelan ya :)
*Di ketik mendadak dan terburu-buru, typo bertebaran-D


Ternyata menghabiskan satu hari berkeliling di Kyoto bersama Satria bukanlah hal yang buruk.

Walau memang tak baik pula untuk hatinya.

Rasa-rasanya ia seperti de javu. Hal semacam ini pernah ia lalui bersama seseorang yang belum terlalu lama pergi darinya.

Seseorang yang datang sebagai penyembuhnya, lalu pergi dan menjabat sebagai penyumbang luka untuknya pula.

"Kamu suka pantai atau lebih suka gunung?"

"Kalau bisa dua-duanya kenapa harus satu?"

"Ya, lebih pasti aja gitu maksudnya," Satria terkekeh.

"Mungkin lebih ke, pantai."

Hari ini hari sudah larut, sejak tadi pagi mereka sudah menghabiskan sepanjang waktu bersama. Dan itu membuat Satria cukup puas. Walau tak ia pungkiri, ia menginginkan waktunya lebih banyak bersama gadis di samping kemudinya. Dama.

Mengingat pantai, entah rasanya hatinya seakan tersayat. Segala memorinya kembali terputar. Bagaimana saat pertama setelah sekian lama ia terperangkap dalam gelapnya duka, lalu hadirnya secercah cahaya yang tak pernah ia duga. Alfan.

Lelaki itu, bagaikan semilir angin pantai kala itu. Sejuk dan menenangkan. Seindah debur ombak yang menghantam karang. Lalu sekokoh karang yang tak pernah mengeluh sekalipun berulang kali terhantam.

Sama seperti saat-saat dimana, sekuat apa Alfan saat berulang kali ia acuhkan.

"Ehem, em kira-kira kamu, maksudnya kamu udah suka Kyoto?"

"Aku udah suka Jepang dari kecil. Cuma belum bisa menyesuaikan aja."

"Kalau sama a-, bukan-bukan. Ngga jadi deh. Lanjut kapan-kapan aja. Udah sampai."

Dama tersenyum geli dengan tingkah Satria yang seperti orang gelagapan. Namun tubuhnya sudah lelah, mungkin memang benar sebaiknya di lanjutkan esok saja.

" Hati-hati jangan ngebut. Jalan licin!"
Satria mengangguk tak melunturkan senyumnya. Baru di seperti itukan saja ia sudah ingin terbang ke kayangan. Lantas bagaimana nanti untuk selanjutnya, apakah ia masih sanggup.

Pintu di buka, keadaan rumah sepi. Hanya ada Tara tanpa Rauna yang biasanya sudah heboh di jam makan petang.

"Tumben sepi, Una mana?"

"Belum pulang, mungkin besok. Biasa dia mah gitu orangnya," jawab Tara yang masih berkutat dengan teko tehnya.

Cuaca dan iklim di Jepang sangat dingin. Butuh baju berlapis untuk beraktivitas guna menghalau dingin. Dan menikmati teh saat-saat seperti ini memang sangat cocok.

"Tapi dia dari kemarin belum pulang juga Tar, perasaan aku ngga enak."

"Tenang dia ngga bakal kenapa-kenapa kok. Anak preman kaya gitu bukannya di apa-apain tapi malah ngapa-ngapain."

"Tapi ini di Jepang bukan di Indo, Tar."

"Kita udah hidup di sini bertahun-tahun Dama. Sedikit banyak kita hafal seluk beluk orang sini. Ngga bakal macem-macem kok. Mereka baik."

"Nih, mending nikmatin dulu tehnya. Biar rileks," ujarnya sembari mendorong secangkir teh ke arah Dama di hadapannya.

Dama menyeruput teh itu secara perlahan. Hangatnya teh sangat kontras dengan cuaca dingin di luar yang kini sudah tertutup salju tipis.

 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now