flight 6✈️

3.1K 341 17
                                    

See You Captain
kamu hanya pergi lebih jauh

Seiring hari yang berlalu, Dama berangsur membaik. Dia sudah bisa berbaur dengan keluarganya kembali. Senyumnya juga perlahan telah terbit, walau masih sering terbenam.

"Kamu jadi keluar?" Tanya Dania melihat iparnya yang telah ia anggap seperti adiknya sendiri.

Dama hanya mengangguk lalu memeluk Dania. Meyakinkan wanita itu bahwa dirinya telah baik-baik saja.

Ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah setelah hampir setengah tahun mengurung dirinya dari hiruk pikuk kehidupan luar.

Sekali lagi ia menghela nafas dan menghembuskanya. Kembali meyakinkan dirinya untuk memulai semua lagi.

"Ayo Dama. Kamu pasti bisa!"

Beberapa waktu menempuh perjalanan akhirnya ia sampai di tempat yang ia maksud. Langkahnya bergetar, pandaganya terus menelusuri tempat itu. Kepingan ingatan dengan kenangannya kembali berputar, membuat air mata rindu itu kembali luruh.

"Yey, sudah sampai!"

"Ayah, gimana rasanya terbang sangat tinggi?"

"Ayah, yang paling hebat!"

"Dama kelihatan ngga, Yah, kalo dari atas sana?"

Ingatan masa kecilnya kembali, ia rindu menjadi kecil. Menjadi gadis kecil Ayahnya. Menjadi gadis kecil yang tidak merasakan sakitnya kehilangan. Dan menjadi anak yang masih memiliki seorang ayah dalam hidupnya.

"Ayah, itu dasinya kacau."

"Cepat pulang, jangan lupa bawa oleh-oleh buat Dama!"

Gadis yang mendihkan. Ia gadis yang hancur.

"Dama, Ayah berangkat. Sampaikan sama mama, jangan lupa masak gudheg kalau Ayah pulang."

"Iya, Ayah, makannya kalo pergi jangan lama-lama. Biar bisa makan gudheg di rumah setiap hari." Ujar Dama memperingati Ayahnya yang terkekeh.

"Iya, Ayah janji pulang cepet kok."

"Janji?" Gadis itu mengulurkan kelingkinya yang ia goyang-goyangkan di depan wajah Ayahnya.

"Janji!" Tirto menyambut kelingking itu.

Saat itulah, saat terakhir ia mengantarkan ayahnya untuk bertugas, saat terakhir bercengkrama dengannya, saat terakhir ia merasakan pelukan hangat beliau.

"Ayah, Dama kangen." Sekuat tenaga ia menahan isaknya.

Di pelataran parkir bandara ini, ia terakhir kali melepas Ayahnya untuk bertugas.

"Bukannya itu putri Captain Tirto?" Tanya seorang perempuan dengan seragam tugasnya. Bisa kalian tahu itu adalah pramugari.

Pramugari di sampingnya turut menoleh dan mendapati Dama duduk memelas di pelataran parkiran itu. Semua menatapnya iba. Gadis yang selalu diceritakan oleh mendiang sahabatnya, seolah kini bertolak belakang saat mendapati kondisi Dama yang mengenaskan.

"Semua emang kehilangan, tapi dia lebih." Ujar pramugari lainnya yang turut sedih.

Mereka perlahan berjalan mendekat ke arah Dama yang belum juga menyadari keberadaan mereka.

"Hai, Dama." Sapa pramugari itu dengan ramah.

Pramugari itu memang mengetahui sedikit banyak tahu tentang Dama dari cerita mendiang Captain Tirto.

Dama hanya tersenyum membalas. Ia juga sedikit mengenali pramugari-pramugari di hadapannya.

"Masih ingat saya, kan?" Tanya pramugari itu dengan semangat. Seolah mereka ingin menyalurkan bahagianya pada Dama yang semenyedihkan sekarang.

"Tentu." Jawab Dama singkat.

Beberapa waktu mereka berbincang, hingga kedatangan seseorang membuat mereka meninggalkan Dama untuk bercengkrama dengannya.

"Hai." Sapa seseorang itu yang kini turut duduk di samping Dama dengan setengah kaki dilipat.

Hanya tersenyum, lalu kembali menatap langit yang hari ini menampilkan lukisan awan putih yang sangat cerah.

"Apa kabar?" Tanya Alfan yang sedari tadi sibuk menimbang-nimbang berfikir topik apa yang akan ia angkat dalam pembicaraannya dengan Dama.

"Baik." Ujar Dama yang membuat Alfan langsung menoleh. Gadis di sampingnya memang selalu membuatnya penasaran.

"Sudah lama disini?"

"..." Dama hanya menggeleng.

"Kenapa duduk disini? Apa pakaianmu tidak kotor? Apa debu di sini tidak membuat nafasmu sesak?"

Dama menggeleng masih menatap lurus ke arah langit yang menampilkan beberapa pesawat yang baru saja mengudara.

"Ap-."

"Kamu selalu ngga bisa berhenti berbicara?" Kali ini Dama menoleh ke arahnya.

Alfan tersenyum, bukan merasa tersindir. Ia juga merasakan aneh pada dirinya. Alfan yang lebih banyak diam, menjadi Alfan yang cerewet saat berada di sisi Dama. Entah ini karena ia mencoba mengajak Dama berbicara atau memang ia yang telah berubah menjadi sosok cerewet.

Nyatanya hampir sembulan ia tidak mengunjungi gadis itu, rasanya sangat sepi.

"Mungkin, saya akan banyak bicara saat orang lain menjadi pendengar. Tapi saya akan berubah menjadi pendengar kala orang lain berbicara."

"Tapi sekarang aku ngga mau mendengar kamu berbicara." Ujar Dama membuat Alfan kelimpungan.
Gadis ini memang benar-benar sulit di tembus.

"Oke, saya akan menjadi pendengar. Jadi apa kamu akan menjadi pembicara untuk saya dengar?"

Lagi-lagi Dama menoleh ke arahnya. Iris mata itu memang terlihat sayu dan layu.
"Apa bisa aku bertemu dengan ayah ku, lagi. Sekali lagi saja?"

Nafas Alfan tercekat. Sekalinya Dama berbicara, ucapan itu membuat Alfan gelagapan. Mana bisa, seseorang yang sudah di katakan meninggal akan dapat dilihat bahkan ditemui. Mimpi saja kadang berbohong. Apalagi kenyataan.

Alfan mengangguk ragu.

"Bohong. Saya tahu ini mustahil."

"Lalu kenapa kamu meminta jika ini mustahil. Bukankah berharap pada yang tidak mungkin itu sangat menyakitkan?"

Dama tersenyum. "Tapi saya selalu menaruh harap untuk hal ini. Bukankah tidak salah untuk terus berharap?"

"Tapi yang kamu harapkan ini, tidak akan pernah terjadi, Dama."

"Iya... tahu kok. Ngga mungkin, kan?"

"Eh?"

Bersambung...


Tipis-tipis lagii

Jangan lupa follow wattpad aku.

Vote dan Komen untuk bab iniii🤌🫧


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now