flight 32✈️

1.1K 171 3
                                    

Samson ~Bukan Diriku (cover)

Warning.
Part ini di ketik mendadak.
Banyak kurangnya monmaap ada lebihnya, alhamdulilah.

Keinget blm up seharian ini, jadi maksain melek2in mata yang udah pliket banget.

See You Captain
kamu hanya pergi lebih jauh

"Gimana, udah berhasil?" Dania dengan semangat bertanya pada Dama yang baru saja membuka pintu utama rumah.

Dama menggeleng di tempat. Air matanya mungkin sudah tidak mengalir. Tapi kali ini ia merasakan hatinya cukup perih untuk alasan yang ia sendiri tidak tahu.

"Belum, ya?" tanya Dania sekali lagi.

"Bukan belum mbak. Tapi emang ngga berhasil." Jawabnya dan langsung berjalan gontai ke arah kamarnya.

Hari ini lengkap sudah penderitaannya. Perutnya semakin perih, ditambah rasa mual. Belum lagi kepalanya yang memberat. Dan ditambah lagi, hatinya yang tidak bersahabat.

Ia mencoba menyandarkan tubuhnya yang melemas di atas ranjang. Ia ingin tidur sebentar saja jika boleh, tapi semakin kesini rasanya tidak karuan. Perutnya serasa diperas-peras, keringat dingin pun muncul membuat hawa semakin dingin.

Awss...

"Dama, mbak ke butik dulu, ya!" Dania berteriak dari luar kamar.

Dania pergi, itu artinya kini tinggal dirinya sendiri di dalam rumah.

Rasa perih itu semakin menjadi-jadi. Tidak pernah ia rasakan sakit seperti ini.

Dania telah berlalu hampir satu jam yang lalu, tidak ada siapapun yang akan menolongnya. Sedangkan di luar, bel rumahnya terus berbunyi. Namun untuk sekedar berdiripun ia tak mampu.

Aws...

Tanpa ia sadari, bibir bawahnya telah berdarah akibat ia gigit tanpa sadar untuk meredam suara rintihannya.

Prang!

Gelas yang semula berada di nakas kini telah remuk menjadi kaca yang tercecer dimana-mana.

"Dama!"

Suara itu, ia masih dapat mendengar dengan jelas siapa pemiliknya.

"T-tolong," pintanya yang amat lirih bahkan hanya terdengar seperti bisikan.

"Dama bertahan!"  suara itu semakin terdengar jelas.

Pintu kamarnya terbuka, menampilkan lelaki dengan wajah khawatirnya.

Bruk.

Tubuh Dama ambruk, ia tak lagi dapat menopang tubuhnya sendiri. Badannya basah penuh dengan keringat dingin, wajahnya pun lebih pucat.

Alfan mengangkat tubuh Dama yang ternyata semakin kurus.

Perasaan khawatir menyelimutinya di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dama yang berada di kursi tengah pun belum menampakkan kesadarannya.

___



Alfan menatap kosong pada penghuni brankar yang masih terlihat lemas di tempatnya. Ia merasa terlambat.

Bahkan ia ingkar dengan ucapannya sendiri.

"Kamu harus sembuh, saya tidak bisa melihat kamu seperti ini."

Alfan menahan ngilu dalam hatinya, ia tidak bisa menjaga Dama. Ia telah meninggalkan Dama sendiri.

Malam bersanding bulan. Dama telah membaik walau jarum infus itu masih terpasang di punggung tangannya. Di sana, Tanti dan Dimas terlihat amat khawatir akan kondisinya.

Sekelebat ingatannya menuntun pada kejadian sebelum ia terkapar di ranjang rumah sakit.

Ia yakin betul, ia tidak berhalusinasi. Suara itu nyata, bahkan ia sempat melihat pemiliknya.

Tapi, di antara mereka, dia tidak ada.

"Mama, siapa yang bawa Dama ke sini?" tanyanya saat Tanti mencoba menyuapkannya bubur rumah sakit.

"Mas Dimas yang bawa kamu, kamu makan dulu ya," jawab Tanti yang Dama sendiri tahu, ini tidak benar.

Namun, bagaimana lagi. Kenyataannya memang ia tidak berada di sini. Mungkinkah ia berhalusinasi?

Berulangkali bubur itu masuk, berulang kali juga Dama memuntahkan isinya. Hingga yang keluar hanyalah cairan kuning berasa pahit yang semakin menambah perih di sekujur perut atasnya.

---

Dua tiga malam terlewati, dan ia sudah di perkenankan pulang. Tidak ada Alfan yang datang menjenguknya sampai hari ini berakhir.

Ini semakin membuktikan padanya, bahwa memang benar ia hanya berhalusinasi kala itu. Bukankah sudah jelas, lelaki itu telah pergi darinya.

Jelas ia tak berhak menginginkan lelaki itu walau sebentar saja ada di hadapannya.

"Dama saya akan berjuang untuk air itu."

Ia turut senang. Namun jauh dalam hatinya, ada rasa sakit yang belakangan ini ia baru ia sadari.
Ada rasa tak rela untuk melepasnya padahal dengan jelas ia tak pernah menggenggam lelaki itu. Ada rasa sulit untuk melupakannya padahal ia tak pernah sekali pun ingin mengabadikannya.

Ada yang sakit namun bukan fisik. Ada yang luka namun tak berdarah. Ada yang menangis tapi tak dengan air mata.

Entah definisi perasaan macam apa yang ia rasakan. Jelas ini bukan rasa biasa untuknya. Amat luar biasa.

Bersambung...

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
 See You Captain!(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang