flight 37✈️

1.1K 160 27
                                    

Hati Terlatih

Happy Reading.

"aku hanya mencoba pergi. Mungkin di mulai dengan raga ini dulu. Entah nanti hati,"

"Jujur ini menyakitkan, Alfan. Tapi seolah aku menjadi terbiasa."

"Entah mana yang lebih sakit. Entah mana yang lebih perih. Semua seolah telah menjadi teman untukku."

"Kamu memang pernah menjadi obat untukku. Namun kini, kamu adalah lukanya. Yang ku tahu, kali ini kamu tak akan menyembuhkannya."

"Kisah ini bahkan belum sempat di mulai, tapi sudah usai."

"Dan kamu tahu Alfan? Lagi-lagi kamu hanya mampu tertulis. Lagi-lagi kamu hanya mampu menjadi aksara dengan rindu yang membuatku candu, namun rasanya bagai tertancap ribuan paku."

"Perih."

"Aku terluka, Alfan. Tapi harus terbiasa."

Air mata itu luruh kembali. Malam ini adalah malam ke dua puluhnya di Kyoto. Namun nyatanya, ia masih terjerat di Jogja. Bukan hanya tempatnya, namun tokohnya.

Di tutupnya buku yang selalu menjadi tempatnya mengadu. Satu-satunya kenangan berwujud yang Alfan berikan padanya.

Untuk pertama, dan pastinya menjadi yang terakhir.

Setiap lebarnya, setiap coretanya, selalu membuatnya hanyut dalam luka yang mati-matian ia abaikan.

Setiap malam. Tak ada yang tahu ia berteman gelap. Tak ada yang tahu ia berteman dengan air mata.

Bintang seolah menemaninya, namun tak kunjung memeluknya.

Bulan memancarkan sinar redupnya, namun tak mampu menyinari gelapnya hati Dama.

Tara dan Rauna bahkan tak tahu menahu keadaan Dama setiap malam.

Yang mereka tahu, setiap harinya gadis itu baik-baik saja.

Tak ada kesedihan dan air mata seperti saat setiap malam menyapa.

"Dama tahu, ini salah. Dama tahu ini ngga boleh. Tapi Dama selalu kepikiran Capt."

"Maaf Dama terlalu merindu. Maaf," ujarnya terisak.

Tak henti-henti ia tersiksa setiap Alfan dengan sekenanya mampir di pikirannya. Lelaki itu, mengapa seolah tak membantu Dama untuk tetap baik-baik saja.

Mana janjinya yang akan membantu Dama tetap baik-baik saja? Nyatanya ia selalu membuat Dama semakin tersiksa.

"Maaf Dama belum bisa pergi dari semua kenangan kita."

"Tapi Dama janji, Dama akan pergi lebih jauh lagi," Dama benar-benar terlihat lelah dan pasrah dengan semua suratan ini.

Ia telah jauh dari raganya. Namun hatinya selalu menuntut untuk kembali.

Ini salah. Dan ini tidak boleh. Ia bukan perusak dan tidak akan pernah merusak.

Di tenggaknya dua pil sekaligus. Ini cukup membuatnya tenang, walau ia tak juga bisa tertidur.

Setidaknya ia tidak lelah menangis semalaman.

Luka, lara, dan semua pahitnya pil itu menjadi semakin akrab dengan Dama.

Mereka sahabat terbaiknya. Sahabat yang sekaligus merusaknya.

Entah untuk perlahan atau secepatnya.

Matanya menyorot kosong ke langit malam Kyoto. Di sana, bintang bersanding indah dengan bulan.

 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now