flight 41✈️

930 130 3
                                    

Ketika Tara dan Rauna memutuskan untuk bercerita secara langsung dari mulut mereka, Dama justru memilih untuk menghampiri buku yang ia letakkan di atas meja tadi.

"Dulu, ada orang yang pernah bilang sama Dama. Kalau Dama akan menceritakan segala sesuatu yang Dama alami pada buku ini. Itu karena, buku ini adalah gantinya saat ia ngga ada sama Dama."

"Orang itu pernah bilang, kalau ia akan menjadi pembacanya. Tapi ia justru hanya menjadi pembaca di awal, ngga sampai akhir. Dan pada akhirnya Dama cuma jadi penulis tanpa pembaca."

"Tapi sekarang, Dama punya pembacanya, walau bukan dia. Itu kalian," tunjuknya pada Tara dan Rauna.

"Jadi, maksudnya buku ini dari dia. Dia siapa?" Rauna yang penasaran.

"Bukan dari iparmu?" giliran Tara.

Dama terkekeh kecil, "maaf ya tadi ngga maksud bohong kok."

"Ini beneran boleh di baca?" Rauna memastikan sekali lagi, agar tak menemukan keraguan di mata Dama.

Dama pun mengangguk mantap, dan meyakinkan keduanya. Ini sudah waktunya untuk ia menjadi sosok yang terbuka. Biarkan ia menjemput dirinya yang baru.

Dama yang tak ada lagi dengan kata luka dan kecewa.

Beberapa saat, Rauna dan Tara pun tampak fokus pada buku yang telah di buka keduanya.

Hingga tak terasa air mata Tara turun ketika menyadari betapa beratnya Dama yang dulu.

Dama yang merindukan waktu, dan Dama yang mengharap pada waktu.

Alfan.

Rauna menyerngitkan dahinya cukup dalam.

Buku itu baru setengahnya yang ia baca, tapi keduanya sudah tidak bisa melanjutkan. Kini mereka sama-sama memeluk Dama. Memberikan gadis itu kehangantan dan kenyamanan.

"Aku ngga papa loh," ujar Dama yang paham akan keduanya yang mungkin saja prihatin dengan dirinya.

"Dama kuat banget," Rauna justru terisak.

"Kamu ngga mau buat dia bisa baca cerita ini? Dia belum baca yang lain kan?" tanya Tara.

Dama menggeleng, "buku ini udah Dama tutup, dia udah punya hidup yang baru. Dan Dama juga pengen punya hidup Dama yang baru."

"Tapi, mungkin suatu saat bakal ada cerita untuk dia baca. Belum sekarang aja," ujarnya.

"Aku bantu!"

"Una juga mau bantu!"

Dama terkekeh, ia sangat bersyukur bisa menemukan sahabat seperti mereka, "iya. Boleh."

Hingga malam itu, Dama akan melupakan segala lukanya.

Lembaran baru dalam hidupnya telah siap menyambut.

---

Pagi datang setelah malam kelam. Tara dan Rauna pagi ini terlihat heboh. Grasak-grusuk di dapur yang membuat kondisinya berantakan dan kacau.

Sedangkan Dama, masih sibuk berselimut. Mengingat ini musim yang dingin. Sangat cocok menghabiskan hari untuk berada di atas kasur.

"Ini masih kurang, kita seharian bukan cuma sejam."

"Worry banget sih lo Tar, ingat ada bos yang siap siaga dengan dompetnya."

"Ck. Ish ga gitu. Lo lupa sama rencana kita berdua?"

"Nggak. Tapi ini kita keribetan. Ini juga belum tentu rasanya enak."

"Pelanin suara lo ya gusti!"

Sepanjang pagi hari ini, keduanya di buat mumet oleh misi yang belum tentu dapat terealisasikan.

Sibuk berkutat di dapur, Tara dan Rauna sampai tidak sadar dengan kedatangan seseorang dengan muka bantalnya.

Memperhatikan ulah keduanya yang terlihat sama-sama jengkel.

Dama mendekat dengan langkah pelan.

"Kalian masak banyak banget?" Tara dan Rauna berjengit kaget hampir mengumpat, jika tidak langsung menoleh ke arah seseorang itu.

Rauna memasang wajah cerianya lengkap dengan cengiran yang menampakkan deretan giginya yang rapih, "eh Dama udah bangun."

Dama mengangguk mengiyakan, "tumben masaknya banyak banget? Mau ada yang datang ya?"

Tara nampak berfikir sebentar, "engga kok, kita cuma iseng aja. Sekalian ngasah bakat masak. Iya kan Na?" Rauna mengangguk atas penuturan Tara barusan.

"Dama bantu ya? Sekali-sekali kan masak bertiga gini?" tawar Dama dan bersiap memasang apronya.

Tara dengan sigap langsung merebut benda itu, "kamu mending mandi aja. Ini udah beres kok."

Dama sempat bingung, namun tk urung tetap melakukan apa yang di katakan Tara. Toh ia juga melihat sudah banyak menu yang siap.

Tak butuh waktu lama untuk Dama mandi dan siap dengan pakaiannya yang telah di ganti dengan sweter panjangnya.

"Loh ini makananya mau di kemanain?" herannya saat sudah ada beberapa kotak makan dari hasil masakan Una dan Tara.

"Kita sarapan dulu deh. Ntar baru Tara jelasin," ujar Tara berusaha mengalihkan.

Rauna pun menuntun Dama agar duduk di dekatnya.

"Selamat makan!" soraknya dan bersiap dengan piring di hadapannya.

Dama pun mengikuti keduanya, walau tak urung ia juga merasa sedikit bingung dengan tingkah keduanya pagi ini.

Walau tak memungkiri, tingkah kedua temannya itu memang tidak bisa di bilang biasa di setiap harinya.

"Jadi, ini mau di kemana'in?" Dama yang sedari tadi cukup penasaran.

"Hari ini kita mau keluar, mumpung ada Satria juga. Kumpul bareng gitu," jawab Tara.

Dama mengangguk, "oh kalian mau keluar?"

"Bukan, bukan cuma kita. Sama kamu juga. Sekalian gitu loh," timpal Rauna yang telah selesai dengan makannya.

"Dama juga?" ulang Dama dengan dahi berkerut.

Tara dan Rauna mengangguk lengkap dengan senyum khasnya.

---

"Una! Pelanin lo ngga liat jalanan licin gitu?!"

"Tara udah dulu! Kita udah telat!"

"Gara-gara lo, pake segala acara berak. Lama lagi!"

Sepanjang perjalanan tiada waktu tanpa berdebat.

Rauna yang mengemudikan mobilnya dengan kencang di atas jalanan yang licin, Tara yang protes akibat ulah Rauna, dan Dama yang hanya bisa membisu sambil merapalkan doa untuk mereka.

"Pelanin ngga?!"

"Engga Tara! Lo tenang aja!"

"Lo ngga bisa bawa mobil kaya gini, bahaya!"

"Bisa ini buktinya bisa!"

Mobil terus melaju tanpa mengurangi sedikitpun kecepatannya, bahkan di turunan sekalipun.

Kedua manusia yang berada di depan hanya sibuk beradu mulut tanpa menaruh peduli pada jalanan yang akan mereka lalui.

Mata Dama membelalak terkejut kala sebuah mobil besar berada di jalur yang sama dengan posisi berlawan arah tepat ke mobil yang di kemudikan Rauna.

"UNA AWAS!" pekiknya yang seketika membuat Rauna dan Tara mengalihkan fokusnya ke jalan.

Brak!

Bersambung...

 See You Captain!(END)Where stories live. Discover now