14. In The Night

16.7K 2.2K 611
                                    

"Ya! Kau kerasukan apa, eoh?"

Jisoo menghampiri Rosé di kamar adiknya itu. Memeriksa suhu tubuh Rosé dengan menyentuh dahinya. Tapi ternyata suhu tubuh adiknya normal.

Sulung Ahn itu hanya merasa bingung karena sikap Rosé. Adik keduanya itu adalah anak Ahn Jaehyun yang tak pernah marah. Terlebih untuk menghargai orang, dia adalah yang pertama.

"Aku hanya kesal dengan perkataan Paman. Adikku menjadi Dokter karena usahanya sendiri, bukan karena Paman." Rosé menggerutu kesal.

"Arrayo. Unnie mengerti."

Jisoo memilih duduk di samping Rosé. Memeluk tubuh adiknya itu dengan hangat.
"Unnie ingin sekali kita semua kembali seperti dulu. Apakah bisa, Rosé-ya?"

"Kita coba perlahan, eoh Unnie? Lisa butuh waktu. Nanti, dia pasti akan kembali menjadi Lisa kesayangan kita."

Rosé lebih bisa berpikir jernih. Dialah yang selalu meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa Lisa tidak seburuk yang mereka bayangkan. Ada kalanya dimana bungsu Ahn itu akan menjadi seperti dulu.

Walau entah kapan, tapi yang harus mereka lakukan adalah berusaha meyakinkan Lisa. Bahwa gadis berponi itu tak sendiri. Bahwa ada ketiga kakaknya yang selalu berdiri di belakang Lisa.

"Apa Jennie berhasil mendekati Lisa? Kau tau kan? Jika bertemu, mereka lebih sering berdebat." Ungkapan Jisoo itu membuat Rosé mengangguk setuju.

Lisa dan Jennie sama-sama keras kepala. Dulu, sebelum Lisa pergi ke Amerika untuk melanjutkan sekolah. Dia yang lebih sering mengalah kepada Jennie. Tapi semenjak ada di Amerika, sifat Lisa berubah cukup banyak. Tak jarang dia sering melawan Jennie.

"Semoga Jennie Unnie bisa mengendalikan mulutnya." Rosé sungguh berharap pada Jennie. Tentu saja tak mungkin jika Lisa yang mengalah, mengingat bagaimana sifat gadis berponi itu sekarang.

...........

Lisa menatap Jennie dengan sorot menuntut, setelah beberapa detik mangkuk ramen tersaji di meja mereka. Hal ini sungguh di luar bayangan Lisa. Dia kira Jennie akan mengajaknya ke restaurant mewah untuk menyantap daging. Walau dia akan menolak juga nantinya.

"Jennie, dengar---"

Plak~

Lisa meringis ketika sang kakak dengan keras memukul kepala belakangnya menggunakan telapak tangan. Rasa perih mulai menjalar, entah terbuat dari apa tangan kakaknya itu.

"Aku kakakmu! Kenapa beberapa tahun ini susah sekali menanggilku dengan sebutan Unnie?" Jennie geram. Entah karena sudah terbiasa jauh, atau bagaimana. Semenjak beberapa tahun lalu Lisa tak pernah memanggil Jennie atau kedua saudarinya yang lain dengan panggilan Unnie.

Biasanya, Jennie akan membiarkannya karena sulit bertemu. Tapi sekarang, dia bisa secara bebas mengeluarkan pendapatnya.

"Itu hanya panggilan---"

"Kau tak menganggapku sebagai kakakmu lagi?" Lisa menelan salivanya susah payah, saat mendengar nada suara Jennie berubah menjadi sendu.

Lisa bisa melihat, mata kakaknya juga mulai berkaca-kaca. Apakah panggilan begitu berarti untuk Jennie? Bahkan sebelumnya pun dia mendapat protes dari ayahnya karena masalah panggilan.

"Arraseo, Jennie Unnie. Sekarang cepat habiskan ramenmu. Aku sudah mengantuk." Merasa kesal dengan dirinya sendiri yang mudah mengalah, Lisa meraih gelas berisi air dan meneguknya hingga tak tersisa.

Sepertinya gadis berponi itu merasa dirinya hari ini dirasuki oleh sesuatu hingga bisa menjadi tak tega untuk menyakiti Jennie. Padahal biasanya, dia tak akan mau mengalah dan mempertahankan pendapatnya.

Lampyridae ✔Where stories live. Discover now