30. Necklace

14.9K 2.1K 715
                                    

Jennie dan Rosé memutuskan untuk pulang ke mansion karena Jisoo bilang lebih baik Lisa bersamanya saja. Batin gadis itu tampak terguncang, dan keramaian tak akan membantu.

Rosé yang tidak tahu menahu masalah apa yang sedang mereka sembunyikan pasti bertanya-tanya. Maka dari itu setelah berganti baju, Jennie mendatangi kamar sang adik.

"Ya! Apa seleramu sudah berubah? Apa itu peluru asli?" Jennie langsung tertarik akan kalung yang Rosé kenakan.

"Aku memintanya dari Lisa."

Jennie duduk di samping Rosé yang sedang menonton televisi. Menyentuh bandul kalung itu dan dia merasa pelurunya memang asli.

"Peluru ini yang menembus bahu Lisa." Mendengar kalimat Rosé itu, Jennie segera melepaskan tangannya dari kalung sang adik. Mendadak dia menjadi merinding.

"Unnie, aku berpikir... Bagaimana Lisa melewati hari-harinya selama ini? Dia selalu menahan rasa sakitnya sendirian. Itu membuatku merasa bersalah."

Kedua mata Jennie mulai menatap adiknya. Mengetahui satu sumber luka Lisa saja, mereka sudah tampak buruk. Bagaimana jika ada sumber luka lainnya? Jennie bahkan tak sadar sudah menitihkan air mata mengingat seberapa banyak bekas luka di punggung adiknya.

"Unnie, kau menangis?" tangan Rosé menyentuh wajah sang kakak. Mengusap air mata disana dengan lembut.

"Untuk apa kau memintanya dari Lisa? Bukankah ketika melihat peluru itu kau justru tersakiti?" tanya Jennie berusaha mengusap air matanya sendiri.

"Ah, igeo... Aku ingin menghukum diriku sendiri. Aku tak pernah ada disaat dia kesakitan. Aku... Seperti kakak yang buruk untuknya."

Jennie memandang Rosé dengan sendu. Jika orang hanya melihat adiknya itu sekilas, pasti yang terekam hanya sifat kenak-kanakannya. Tapi siapa yang tahu, bahwa dia adalah kakak yang begitu menyayangi adiknya. Terkadang, Rosé bahkan lebih dewasa dibandingkan kedua kakaknya.

"Unnie, aku tidak ingin berpisah dari Lisa lagi. Aku ingin menjadi kakak yang baik. Aku ingin menjadi sandaran disaat tersedihnya." Jennie mengangguk saja. Memeluk Rosé dengan erat. Dia berjanji tak akan pernah melepaskan Lisa lagi. Tak akan pernah.

..........

Jisoo meletakkan teh hangat di hadapan Lisa lalu duduk di samping adiknya itu. Memperhatikan raut wajah Lisa yang sudah berubah seperti biasa. Padahal tadi dia melihat dengan jelas ketakutan di sana. Tapi sekarang sudah hilang tak berbekas.

Sedangkan Lisa, dalam hati terus bertanya. Mengapa Jisoo tak menanyakan sikapnya kepada Kijoon serta Sohee tadi? Padahal pasti kakaknya itu penasaran dengan apa yang terjadi.

"Kau... Tidak merasa penasaran?" tanya Lisa ragu. Padahal walaupun Jisoo bertanya pun Lisa tak akan menjawabnya.

"Aku tak akan memaksamu untuk bercerita. Aku akan menunggumu sampai siap."

Lisa mengangguk saja. Beralih menyeruput teh hangat yang baru saja Jisoo buatkan. Memiliki kakak yang baik, ternyata sangat menguntungkan untuk Lisa.

Padahal sebelumnya dia menduga jika ketiga kakaknya akan terus menekan Lisa untuk bercerita. Terlebih Jennie yang sudah melihat bekas luka di punggungnya, dan pasti Jennie juga sudah menceritakannya pada Jisoo atau Rosé.

Mereka diam bukan karena tak peduli. Lisa tahu jika ketiga kakaknya ingin membuat Lisa selalu nyaman. Dengan mendesaknya, Lisa pasti merasa tak suka.

"Unnie, jika aku meminta sesuatu padamu. Seberat apa pun itu apa kau mau melakukannya?" pertanyaan Lisa mampu menbuat dahi Jisoo mengerut.

"Tentu saja. Bahkan jika kau meminta nyawaku, akan kuberikan." Jisoo sangat berlebihan, tapi dia tidak bercanda.

Lampyridae ✔Where stories live. Discover now