20. Anti-Fans

14.5K 2.2K 541
                                    

Sekarang, Jisoo membenarkan ucapan Lisa kemarin sore. Seharusnya dia sadar, bahwa dirinya adalah anak manja. Dia tak pernah sekali pun menginjakkan kaki di alam liar seumur hidup.

Semalam mereka tidak tidur. Hanya duduk memandangi kunang-kunang sampai pagi mulai menjelang. Tanpa berkata apa pun, Lisa langsung mengajak ketiganya pulang ke Seoul. Padahal, sebelumnya Lisa berencana untuk menetap di Jeju selama tiga hari.

Sungguh, tubuh Jisoo pagi ini rasanya ingin rontok. Dia tak bisa membayangkan bagaimana menjadi Lisa yang pernah menjadi relawan medis di daerah berkonflik. Hidup disana, tentu melebihi hidup di alam liar.

Menatap layar komputernya yang dipenuhi oleh huruf memusingkan, Jisoo memijat keningnya yang terasa berdenyut. Menjadi pimpinan sekaligus pemilik perusahaan membuatnya ingin gila. Ditambah rasa lelahnya yang begitu mendera.

Ketika sedang meratapi kelelalannya, pintu ruangan itu terbuka. Jisoo merasa suasana hatinya semakin memburuk tatkala sosok Jaebum lah yang mendatanginya.

"Igeo. Undangan untukmu dan ketiga adikmu." Jaebum meletakkan secara kasar empat buah undangan ke atas meja Jisoo.

Tak berminat memeriksa undangan itu, Jisoo justru sedang memandang Jaebum dengan tatapan tajam. Bukannya takut, Jaebum justru terkekeh di buatnya.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Jaebum ringan.

"Aku adalah atasanmu. Bersikaplah seperti seharusnya. Kau ingin di pecat?"

Tawa Jaebum semakin terdengar jelas.
"Memangnya kau berani memecatku?"

Jisoo mengepalkan tangannya marah. Ingin sekali suatu saat nanti, dia benar-benatr berani untuk memecat Jaebum tanpa memikirkan perasaan ibunya. Jisoo benar-benar sudah kualahan menghadapi tingkah angkuh kakak sepupunya itu.

"Jangan lupa datang dan bawa hadiah mahal." Selesai mengatakan itu, Jaebum pergi dari ruangan Jisoo. Meninggalkan amarah yang masih melingkupi perasaan Jisoo.

..........

Sebenarnya, Rosé sangat menyukai kebebasan. Maka dari itu ketika Jennie mengajaknya untuk ikut bersama Lisa ke hutan, Rosé sangat senang. Hanya saja dia menyayangkan Lisa yang mengajaknya pulang begitu cepat.

Rosé juga tak suka jika ruang privasinya di ganggu. Ketika sang Ayah resmi berinvestasi di agensinya dengan jumlah begitu besar, Rosé bisa sesuka hati melakukan apa pun di dalam agensi itu.

Katakan saja dia egois. Tapi kemauannya hanya tak ingin diikuti manager maupun bodyguard ketika sedang ingin sendiri. Dia tak akan meminta hal lain, kecuali mendesak.

Siang ini, Rosé benar-benar menikmati cuaca cerah kota Seoul. Dengan berjalan santai di trotoar. Walau harus menutupi wajahnya dengan masker dan topi, Rosé tak masalah. Setidaknya sekarang dia bisa merasakan sebuah kebebasan.

Ketika tak ada pekerjaan dan hanya berdiam di studio, Rosé biasanya akan mencari makan siang sendiri di daerah sekitar. Dia bahkan sudah amat hafal semua rumah makan disana.

Gadis itu berhenti, menunggu lampu lalu lintas berwarna merah. Dia ingin menyeberang, dan ketika merasa cukup bosan dia mulai meraih ponsel dari saku jaketnya.

Tak ada sama sekali pesan atau panggilan dari ketiga saudarinya. Dia merasa cukup aneh. Karena biasanya Jisoo maupun Jennie selalu menghubunginya ketika jam makan siang tiba. Tentu saja untuk mengingatkan Rosé makan karena dia memiliki penyakit maag.

"Apa aku berbuat salah saat di hutan tadi malam?" Rosé bergumam sendiri. Dia baru sadar, setelah terbangun di hutan malam tadi ketiga saudaranya begitu cuek.

Lampyridae ✔Where stories live. Discover now