55. Afraid

15.7K 2.2K 602
                                    

Entah rasa sakitnya sebesar apa, Jisoo tidak bisa berhenti menangis. Bahkan ketika napasnya sudah terasa sesak dan suaranya yang hampir habis, dia terus saja membahasi bahu Jennie dengan air mata.

Jika saja dia sedang bermimpi, Jisoo sungguh akan bersujud syukur. Tapi rasa sakit ini terlalu nyata. Dia ingin seseorang segera membangunkannya.

Bernarkah jika adiknya yang tampak tangguh itu sebenarnya rapuh? Benarkah bahwa selama ini Lisa selalu merasa kesakitan? Dan benarkah bahwa penyakit itu tak bisa disembuhkan?

"Jennie, ini hanya mimpi kan? Tolong bangunkan aku. Tolong, Jennie-ya." Jisoo melepaskan dekapan sepihaknya itu pada tubuh sang adik. Lalu mencengkram kerah kemeja yang sedang Jennie kenakan.

Menghela napasnya yang berat, Jennie memilih hanya terus diam. Ucapan semanis apa pun tak akan bisa menghibur Jisoo. Dia pernah ada di posisi sang kakak saat ini. Jadi dia cukup mengerti apa yang harus dia lakukan.

"Wae? WAE?!" Wajah Jisoo memerah padam. Dia marah, tapi tak tahu pada siapa.

Membiarkan Jisoo melampiaskan semua kesedihannya adalah pilihan Jennie. Dia bahkan rela ketika sang kakak memukul dadanya berkali-kali. Tak apa dia merasa sakit asal kakaknya bisa mengeluarkan semua rasa sedih itu.

"Dia bisa menyelamatkanku, tapi mengapa aku tidak bisa? A-Aku takut---"

"Unnie, apa yang kau katakan?" Kedua mata Jennie bergetar ketika tahu maksud dari ucapan Jisoo.

Merasa kakaknya tidak paham dengan penyakit Lisa, kedua tangan Jennie mulai mencengkram bahu Jisoo erat.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Lisa tidak akan kemana-mana. Jadi kau harus tenang, eoh? Penyakit itu tak akan merenggutnya." Jennie mengatakan itu dengan rasa takut. Dia cemas jika kesehatan Jisoo kembali menurun karena memikirkan hal buruk mengenai Lisa.

"Jeongmal?" Tatapan itu penuh harap, dan Jennie langsung menganggukinya cepat.

"Kita hanya harus siap dengan keadaannya nanti. Apa pun yang Lisa alami, ku mohon jangan terkejut."

Tubuh lemas Jisoo meluruh ke lantai. Tangisnya yang semula terhenti kini kembali berderu kencang. Ini bahkan lebih sesak dibandingkan ketika dokter memvonis penyakitnya sendiri.

..........

Malam ini langit amat kelabu. Bintang dan bulan bersembunyi di baliknya. Takut akan gemuruh petir dan hujan lebat yang mengguyur kota Seoul. Membasahi seluruh sudut.

Lisa bangun dari tidurnya. Berusaha bangkit sembari meringis karena rasa nyeri di kakinya masih ada, walau tak sehebat tadi.

Dia memandang tangan kanannya yang masih bergetar, sedangkan tangan kirinya sudah tampak tenang. Gadis itu menghela napas. Semakin hari tubuhnya tidak terkendali. Bahkan saat di rumah sakit tadi dia sudah pingsan selama dua kali.

Lisa tidak bisa berhenti sekarang. Jisoo belum dinyatakan sembuh. Kanker itu masih ada di dalam tubuh kakaknya. Lisa tidak bisa melepas janjinya begitu saja. Dia akan menjadi dokter Jisoo hingga sembuh.

Kepalanya menoleh ke samping. Dimana Rosé telah tidur lelap di sampingnya. Mengusap kepala sang kakak pelan, Lisa memutuskan untuk keluar dari kamar dengan tertatih.

Beberapa lampu sudah di matikan. Hanya cahaya remang yang menemani langkah Lisa. Padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh malam.

Lisa berhenti di hadapan salah satu pintu kamar lain. Dengan keyakinan yang tipis, Lisa membuka pintu itu dengan ragu.

Helaan napas dia keluarkan tatkala melihat Jisoo sudah terbaring tidur dengan sang ibu yang menemani di salah satu sofa.

Memasuki kamar itu, Lisa membuat Hyesun terkejut. Wanita itu selalu bingung, bagaimana Lisa dengan cepat pulih dari rasa sakitnya.

Lampyridae ✔Where stories live. Discover now