37. AB-

53K 5.3K 432
                                    

selamat malam minggu.. lu baca cerita ini karena u jomblo kan hahaha :) 

happy reading semuanya 


Diluar sana hujan turun begitu deras. Suara petir menyambar dimana-mana. Di depan jendela besar lantai tiga gedung rumah sakit itu Anna duduk, dalam sebuah ruangan yang mengarah pada taman Rumah Sakit yang begitu luas. Pemandangan taman yang penuh dengan bunga dan tanaman lainnya tampak sepi karena hujan. Beberapa hari terakhir Anna merasa tubuhnya lemah, seperti tak bertenaga bergerak. Pikirannya terus mengarah pada sosok pria yang begitu ia cintai meski telah disakiti ratusan bahkan tak terhitung kali. 

Kapan Reza sang suami sadar? 

Bagaimana bila ada dampak-dampak buruk dari kecelakaan ini? 

Pikiran-pikiran kotor seperti itu terus berkecamuk dalam benak Anna. Belum lagi Simon belum mengkonfirmasikan donasi darah yang sesuai dengan Reza. Sehari yang lalu, Simon mendapatkan dua kantung, dan hingga kini belum ada kabar terbaru tentang itu. 

Air mata Anna kembali menetes ketika membayangkan. Bagaimana bila sang suami tak mampu bertahan dan meninggalkannya bersama putra dan janin kecil dalam rahimnya? 

"Hiks... Hiks..." Anna mulai terisak. Selalu ada masalah dalam hidupnya, masalah-masalah yang membuat raganya terasa rapuh. 

Kini janin kecil dalam rahim hangat sang ibu itu bergerak pelan seolah menyadari kesedihan mommy-nya. Anna mengelus pelan perutnya buncitnya, terakhir kali konsul dengan dokter yang menangani kehamilan kali ini mengatakan, jika jadwal kelahiran tak akan begitu lama lagi. Mengingat itu Anna kembali menangis. 

"Nak, maaf... mommy tidak dapat menjanjikan kau terlahir kedunia ditemani daddy-mu." Anna menyeka air matanya seraya tangan kiri mengelus perutnya. Ia tidak menginginkan hal buruk, tapi mungkin saja Reza masih koma hingga hari persalinan tiba. "Saat ini, kau tahu jika daddy sedang koma. Dokter sudah berusaha keras, tapi memang hanya tuhan yang menakdirkan yang terbaik Hiks... hiks... Jika sewaktu-waktu hal buruk terjadi. Jangan bersedih ya nak. Kau tak sendirian, ada mommy dan ada abangmu Ezaron yang selalu ada untukmu hiks... hiks..." Anna menangis hingga merasa dadanya begitu sesak hampa udara. 

Pada kehamilan ini ia merasa emosinya sulit di kontrol, ia sedikit cerewet dan juga mudah menangis. Pikirannya sering Overthinking, padahal Dokter selalu mewanti-wanti hal itu. Sesekali bila terpantau oleh Jennie sang pengawal berambut pendek itu, ia sering menghibur Anna dengan hal-hal yang seru untuk dibicarakan. Tapi sebagai seorang wanita hamil yang tak tahu akan seperti apa keadaan sang suami kedepan, jelas Anna banyak pikiran dan sering murung.

"Ezar, ayo coba ajak bicara Mommy." Bi Hasri mendorong pelan tubuh anak laki-laki bercelana pendek dengan kaos merah itu kearah jendela besar dimana sang nyonya sedang duduk menoleh keluar. 

Bi Hasri ada di Rumah Sakit karena mengantar banyak makanan yang para maid buat. 

"Mommy." Panggil Ezar seraya berusaha duduk di sofa sebelah Anna. "Mommy menangis lagi?" Ezar kini bergerak dengan lututnya mendekati Anna. Dengan pelan ia mengusap pipi mulus sang mommy dengan jemarinya yang mungil. Ezar mengangkat jemarinya hingga berjumlah tujuh. "Sepertinya angka ini akan terus bertambah." Ujarnya dengan polos. 

Anna tersenyum begitu tipis. "Abang menghitungnya?" 

"Dokter yang meminta Abang melakukan itu, dan memberitahu mommy sudah sebanyak apa tangis mommy seharian ini." 

Anna menarik pelan sang anak kepelukannya, dengan hati-hati Ezar memeluk ibunya dengan manja. "Mommy terus menangis, apakah daddy kita akan-" 

"Akan apa?" Bi Hasri tiba-tiba datang dan membuka gorden jendela besar itu lebih lebar. "Daddymu... Tak akan pergi dengan mudah sebelum merubah semuanya menjadi lebih baik." 

I MISS YOU MOMMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang