epilog

6K 257 108
                                    

Vote dulu sebelum baca yaa beip;)

Happy Reading

Dimandikan, dikafanin, disholatkan dan dikuburkan itulah akhir hidup manusia, semua akan berpulang meninggalkan dunia untuk selamanya.

Tidak ada yang tau kapan kita memejamkan mata untuk selamanya, kita hanya bisa menunggu dan mencari amal sebanyak-banyaknya untuk bekal kita nanti di akhirat sana.

Hidup itu memang singkat ya? Hari berlalu dalam sekejap kita menutup mata.

Semua keluarga Syakila dirundung duka, Arkan mengusap bahu Diana berusaha menenangkan. Dari tadi Diana terus menangis, sampai pemakaman Syakila.

Rafael menatap kosong ke arah gundukan tanah yang masih merah di taburi bermacam-macam bunga. Dengan papan bertuliskan nama Syakila Putri Pradipta. Sejak jenazah Syakila dibawa pulang ke rumah, jenazah di kafankan dan dikuburkan Rafael tidak pernah meneteskan air mata. Dia sudah berjanji.

"Pa? Sya- Syakila gak mungkin pergi kan? Ini cuma sandiwara kan?" Diana terus meracau.

"Pa? Bongkar kembali pa! Syakila takut gelap, dia gak bisa napas nanti." Diana menyeka air matanya, tapi tetap saja keluar kembali. Dia memberontak dalam dekapan suaminya.

Semua orang menatap Diana iba, "Ma, Mama yang sabar. Ikhlasin Syakila Ma," Arkan semakin memeluk erat istrinya.

"Apa sih pa? Kamu nggak sayang anak kamu apa, hah? Itu anak kamu gak bisa napas!" teriaknya parau. Matanya yang sembab memerah. Dia meronta ronta minta dilepaskan, tangisnya semakin keras. Shilla datang dan memeluk mamanya.

"Ma, udah Ma." Shilla mengusap punggung Mamanya.

"Kevin, panggil tukang gali suruh gali kembali tanahnya, i-itu adik kamu gak bisa napas." Diana menatap Kevin memohon, matanya sayu. Sahabat Syakila ikut menangis, mereka tidak sanggup melihat Diana seperti itu.

Kevin menggeleng, dia berjalan ke arah mamanya. "Ma, ayo pulang! Mama perlu istirahat." Kevin menyeka air mata mamanya.

"Vin, adik kamu gimana? Kasian dia sendiri," Diana menatap gundukan tanah tersebut.

"Kamu panggil penggali sana, jangan kelamaan." Kevin mengangguk, air matanya meluncur. Dia tidak sanggup melihat mamanya yang seperti ini.

"Iya, ayo kita pulang dulu," Kevin merangkul mamanya.

"Yaudah, nanti sehabis di gali suruh Syakila pulang. Mama mau marah! Masak dia bikin sandiwara yang membahayakan diri sendiri, mama gak suka!" Kevin hanya mengangguk, dia tidak sanggup mengatakan kalau itu bukan sandiwara, itu kenyataan.

"Shilla ayo pulang, Hendri bawa istri mu pulang, dan Zoya, Naura, Risa ayo! Nanti kita tunggu Syakila di rumah. Rafael dan yang lain ayo," Kevin menatap semuanya supaya menurut ucapan mamanya. Mereka pun menurut.

"Rafael?" Kevin memanggil Rafael yang masih tidak bergeming di tempat.

"Kalian duluan aja, gue nyusul!" Mereka semua mengangguk, mereka pergi meninggalkan Rafael sendiri.

Rafael berjongkok, dia mengusap papan nama yang bertuliskan nama Syakila. "Hai sayang?" sapa Rafael.

"Kamu udah gak sakit lagi kan? Kamu udah bahagia kan?"

"Sekarang aku udah gak bisa ganggu kamu lagi, gak bisa bikin kamu kesal, dan gak bisa liat wajah kamu merah lagi. Soalnya kamu perginya jauh banget, aku gak bisa datang gangguin kamu, jemput kamu."

Satu tetes air mata jatuh, Rafael sudah tidak bisa menahannya lagi. Hatinya hancur, sesak. Rafael tidak bisa berusaha tegar lagi.

"Bagaimana bisa aku hidup tanpa kamu...?" suaranya tercekat. Ia terisak, dia mendongak memeras air mata yang sejak tadi membendung di pelupuk matanya.

"Nanti kalau aku rindu gimana? Kamu tau kan kalau aku rindu liat foto kamu aja gak mempan. Harus kamunya yang ada di depan aku." lanjutnya. Rafael memejamkan matanya kembali, menahan sakit di hatinya.

Potongan potongan kecil tentang kenangan dirinya bersama Syakila terputar kembali di kepalanya. Dan yang paling menyedihkan kenangan yang terpahit berhasil menghantam dirinya.

Bagaimana dirinya menyakiti gadisnya, bagaimana dia menghancurkan hati Syakila, dia menomorduakan Syakila. Gadisnya sakit saja Rafael tidak tau.

"Kenapa Tuhan mengambilmu sebelum aku menembus semua kesalahanku padamu, kenapa?"

"Apa Tuhan ingin aku menyesal? Iya aku menyesal! Aku sangat menyesal!" Rafael memukul dadanya sendiri, rasanya sesak sekali.

"Padahal baru kemarin kita menikah sayang, masih banyak impian, harapan yang ingin kita wujudkan, kan?" Rafael memeluk papan nama tersebut. Suaranya hampir menghilang.

Dia meletakkan kepalanya di atas makam Syakila, "pasti kamu udah marah banget ya sama aku? Makanya kamu pergi, iya?" racau Rafael.

"Masih banyak kata maaf yang belum aku ucapkan, masih banyak fakta yang belum aku jelaskan."serunya parau.

Rafael menangis, benar-benar menangis, Dia tidak peduli wajahnya kotor terkena tanah merah.

"Rafael ayo pulang," Alhena, mamanya. Ternyata dia masih di sana, dia mendengar semua perkataan sendu Rafael. Basah di pipinya masih ada, dia terisak melihat putranya berada di titik ini. Segitu pentingnya Syakila terhadap anaknya.

"Mama mertua kamu udah manggil, nanti aku ke sini lagi ya, aku bawain bunga mawar kesukaan kamu." lirihnya parau. Sedikit terkekeh.

"Jangan lupa datang ke mimpi aku, aku menunggu." Rafael mencium papan nama tersebut dengan sayang. Dengan hati remuk, sakit Rafael berdiri. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan semuanya.

Sekarang dunia Rafael telah gelap, dia tidak tahu lagi harus berlambuh kemana. Dia seakan hilang titik terang kehidupannya.

****

"Ma, ayo masuk." Kevin mengajak mamanya. Mereka sudah sampai di rumah yang banyak meninggalkan kenangan tentang adiknya, Syakila.

"Syakila kok belom pulang?" Diana menghentikan langkahnya seraya melihat ke arah pintu masuk.

Yang lain hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. "Kevin, telpon adikmu! suruh pulang," ucap Diana lagi.

"Ma, Syakila udah--- syakila udah pergi ma, dia udah tenang di sana."

Plakk

Dadanya berdentam keras, genangan air mata sudah memenuhi netranya. "Kamu ngomong apa, hah? Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi, Kevin?" sentak Diana tajam.

Shilla terisak, dia yang tidak sanggup melihat mamanya seprti ini langsung berjalan menjauh.

"Mama yang ikhlas, anak kita udah tiada ma," sahut Arkan serak.

"Tidak! Putriku enggak mungkin tiada! Cepat suruh dia pulang!" jeritnya. Diana terus menggeleng, menolak untuk percaya. Meraung, ia menangis sekencang kencangnya.

"Ma kamu tenang dulu, kamu harus ikhlasin Syakila, biarkan dia bahagia di---

"Diam! Kalian jangan berbohong! Anak ku masih hidup! Dia tidak mungkin meninggalkan aku, dia tidak mungkin meninggalkan mamanya, iya kan?" Diana terus meracau, dia terisak hebat.

Arkan berjalan mendekat, dia memeluk istrinya mencoba menguatkan.

"Pa, putriku tidak mungkin tiada kan? Dia akan pulang kan?" lirihnya, matanya mulai sayu.

"Tolong kembalikan putriku," Dan setelah mengatakan itu kegelapan menyambutnya. Diana kehilangan kesadaran.

*****

TBC

Hai pendek ya?
Segini dulu ya, aku lagi sibuk bnget di real life. Ini aja aku sempetin nulis.

Nanti ekstra part Insya Allah panjang 😄.
Di tunggu yaaa

See you readers ku;) ❤😘

SYAKILA Where stories live. Discover now