Chapter 36 - Meradang

51 13 8
                                    

Meradang

"Gue nggak nyangka bakal bisa seterikat ini sama seseorang. Dan ternyata orang itu lo, Dan." – Stevlanka.

Kesenyapan membungkus gendang telinga. Pikiran kembali terlempar pada dunia nyata. Air mata bertumpah ruah hingga berjejak pada benda empuk itu. Stevlanka menarik napas. Posisinya yang semula miring menjadi telentang. Lampu berpijar terang, tetapi Stevlanka tiba-tiba merasakan sesuatu hal yang beda. Napasnya menjadi berat. Pikirannya bercabang ke mana-mana.

Hawa aneh itu semakin meremang. Stevlanka berkeringat dingin. Entah mengapa begitu tiba-tiba. Ia mengubah posisinya menjadi duduk. Mencengkram selimut yang menutupi tubuhnya. Lampu di atasnya berkedip sekali. Matanya membulat seketika. Cengkramannya semakin kuat. Mengapa untuk berteriak saja Stevlanka tidak mampu? Seolah ada sesuatu yang membuat Stevlanka menunggu apa yang akan terjadi.

Lampu kembali berkedip-kedip. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali dengan lambat. Hingga benar-benar mati sepenuhnya. Bersamaan dengan lampu yang padam, Stevlanka menarik napas berat. Dadanya naik turun karena panik. Bersusah payah untuk berusaha mengendalikan tetapi rasanya begitu sulit saat ini.

Menggeser tubuhnya menepi, meraih apa pun di atas meja. Bahkan ia tidak tahu di mana letak ponselnya. Stevlanka turun dari tempat tidur. Membuka laci pada nakas. Apakah tidak ada senter atau apa pun itu yang bisa menghasilkan cahaya? Semakin lama, semakin sesak.

Deru napasnya bisa ia hitung sendiri. Tertatih menuju meja belajar Ardanu. Barang-barang di meja itu sedikit tercecer karena Stevlanka. Dan akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Menekan tombol di senter itu hingga ada cahaya yang muncul.

Lega. Itulah yang Stevlanka rasakan. Satu tangannya bertumpu pada meja. Tubuhnya sedikit bergetar dan berkeringat dingin. Ketika napasnya tidak seberat tadi, ia mengarahkan senternya ke depan, ia ingin keluar dari kamar ini. Apa Ardanu sudah tertidur, hingga tidak datang menemuinya?

Demi Tuhan, Stevlanka membenci situasi seperti ini. Matanya menangkap darah pekat yang mengalir ke arahnya. Sontak membuatnya mundur ke belakang hingga membentur meja belajar. Sudah tahu apa yang akan terjadi, tetapi tangan Stevlanka justru mengarahkan cahaya senter untuk mengikuti aliran darah itu berasal. Berhenti pada sudut ruangan dekat pintu. Sebuah kaki yang berlumuran darah terpojok di sana.

Tubuh Stevlanka membeku. Ia lupa cara bernapas. Meraup oksigen bukan dari hidung lagi, namun dari mulut. Tetapi masih saja tidak bisa menangkap oksigen. Ia ingin berteriak, sungguh. Air matanya mengalir sudah. Dengan sangat aneh, ia menaikkan cahaya senter itu. Dress merah maroon lagi. Lagi-lagi sosok itu yang hadir menemuinya. Dressnya tampak begitu lusuh. Tangan yang menggantung tidak bertenaga, keadaannya sama dengan kaki.

Cahaya senter telah berhenti di tubuh bagian atas sosok itu. Kepalanya menunduk, rambut kusutnya menjuntai ke depan menutupi wajahnya. Dengan sangat tiba-tiba kepalanya bergerak mengarahkan matanya pada Stevlanka. Tak lama dengan kecepatan yang tidak terduga sosok itu melayang ke arah Stevlanka. Mulutnya terbuka lebar, kepalanya miring ke samping dengan bercak-bercak darah yang mengerikan.

Senter yang ada di tangan Stevlanka ia lempar entah kemana. Suara teriakan lolos pada akhirnya. Energinya terkuras habis. Terduduk di atas lantai. Suara erangan menggema di kamar itu. Erangan yang begitu mengerikan seperti ingin berbicara, namun tidak bisa karena menahan rasa sakit. Air mata Stevlanka berjatuhan sambil berteriak.

Sementara itu, sayup-sayup Ardanu bergerak gelisah mendengar pekikan yang terjasa jauh dari pendengarannya. Semakin lama suaranya semkain jelas hingga matanya terbuka. Dengan terkejut laki-laki itu bangun dari tidurnya.

"Vla," gumam Ardanu, kemudian berlari menuju kamarnya. Ketika di depan pintu, ia mencoba memutar gagang pintu, namun tidak bisa. Masih berusaha membuka dengan tergesa.

DELUSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang