Chapter 40 - Suatu Cela

54 10 6
                                    

Suatu Cela

"Dan sekarang, jangan memaksa gue untuk melukai kalian semua karena sikap sampah kalian. Kalian benci gue? Jauhi gue. Kalian nggak perlu melebih-lebihkan cela yang gue punya." - Stevlanka.

Kebahagiaan hadir bersama kehangatan orang-orang yang mereka sayang. Terutama kedua orang tua. Mereka seperti tempat pertama untuk memulai langkah. Tempat bercurah mulai dari suatu hal yang menyakitkan bahkan membahagiakan. Dukungan orang tua adalah suatu keharusan yang tidak bisa terabaikan.

Begitu juga seorang anak. Sudah menjadi tugasnya untuk selalu membahagiakan, membanggakan, hingga melindunginya ketika sudah beranjak dewasa kelak. Tetapi, Stevlanka tidak melakukannya. Mulai dari masih kecil hingga dewasa selalu saja memberikan masalah. Bundanya selalu terluka karena ulah tangan alien Stevlanka. Puncaknya ketika umurnya beranjak tujuh tahun. Itu adalah terakhir ia melihat Bundanya. Dan sekarang, Ayahnya meninggal juga karenanya. Stevlanka hanya memberikan neraka untuk kedua oang tuanya. Memberikan rasa sakit hingga napas terakhir.

Kenyataan ini menampar Stevlanka begitu kejam. Di mana setiap harinya menanggung rasa bersalah dan penyesalan. Rasanya semakin menyesakkan ketika satu kalimat yang baru saja terucap. Ucapan Ardanu. Ucapannya semakin menambah rasa sakit. Entah dari sisi mana rasa sakit itu hadir. Stevlanka seolah buta menjabarkannya.

Gadis itu menatap tajam pintu tertutup beberapa saat yang lalu. Air matanya tidak berhenti menetes. Kepergian Ardanu selalu menyisakan kekosongan dan Stevlanka membenci itu. Tetapi, tidak. Untuk beberapa hari ke depan mungkin ini lebih baik. Laki-laki itu selalu melakukan sesuka hatinya. Seandainya ia mengatakan yang sejujurnya, kejadian buruk tidak akan terjadi. Menggunakan alasan 'tidak ingin menambah beban' membuat laki-laki itu bungkam. Dan itu adalah alasan bodoh. Hidup Stevlanka sudah dipenuhi rasa sakit hingga tidak lagi merasa. Sekarang, rasa sakit hadir lebih parah karena kebodohan itu.

Stevlanaka menghapus air matanya. Meraih surat yang tergeletak di atas meja lalu beranjak menuju kamarnya. Membuka laci meja belajar, mengeluarkan beberapa surat yang tertumpuk di sana. Pulang dari pemakaman Ayahnya, Stevlanka mendapatkan surat teror itu dari polisi. Polisi sekarang mengetahui jika ada seseorang yang mengincar Stevlanka. Di surat itu tertulis jika si peneror ingin melukai dirinya. Tetapi Ayahnya yang menjadi korban. Kepolisian sudah menetapkan kasus ini adalah kasus pembunuhan. Berharap mereka bisa menangkap sosok yang menjadi penerornya selama ini.

Stevlanka mengerjapkan matanya setelah mendengar dering pesan di ponselnya. Satu pesan dari nomor tidak dikenal.

Seharusnya ini tidak terjadi, tetapi akan semakin seru. Turut berduka. Dan ya, nikmati harimu.

"Siapa lo sebenernya?" gumam Stevlanka menggenggam ponselnya. "Gue janji, gue akan menemukan lo." Stevlanka hanya bisa melakukan itu untuk Ayahnya.

***

Ardanu membanting pintu mobilnya. Ia merasa kacau. Helaan napasnya terlihat berat seperti meredam emosi. Ia terdiam sejenak. Mentap lurus ke depan. Laki-laki itu tersenyum getir. Hingga tatapan matanya berubah tajam. Setir mobil ia cengkram erat. Sekali lagi ia menghela napasnya. Kemudian, melajukan mobilnya dengan kecepaan tinggi. Seperti menyalurkan emosinya dengan seberapa ia menancapkan gas.

Mobilnya memasuki perumahan. Tepat di depan rumah berwarna putih ia memarkirkan mobilnya. Mendadak tubuhnya gemetar. Tetapi ia tetap memaksa masuk. Semuanya tampak bersih. Tidak ada satu pun barang yang berdebu karena memang rumah ini selalu dibersihkan. Rumah kosong tetapi cukup terawat. Ardanu melangkahkan kakinya ke sudut ruangan. Membuka laci nakas dan mengambil sebuah album foto. Satu keluarga yang terdiri atas empat orang. Kedua orang tua tampak duduk di kursi. Sang Ayah memangku anak laki-lakinya sementara sang Ibu memangku anak perempuannya.

DELUSIONSWhere stories live. Discover now