Chapter 23 - Berbeda

91 30 53
                                    

Berbeda

"Padahal gue mikirnya, momen romantis itu kalau lo selalu ada di samping gue, melindungi gue, ngasih gue kekuatan kalau gue lagi sedih. Dan di saat lo peduli sama gue."- Stevlanka.

Hawa malam begitu dingin dan menusuk. Sunyi senyap tak terdengar apapun selain suara jangrik yang bertimbalan. Bangunan tua menjulang tinggi tampak begitu lusuh. Letaknya yang berada di tengah hutan. Sosok jangkung memakai pakaian serba hitam keluar dari bangunan itu. Ia masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan area gelap.

Satu orang lagi ada yang sedang berjaga di dalam. Di salah satu ruangan yang tak begitu luas, ada tiga anak yang duduk meringkuk ketakutan. Menangis tanpa suara sambil bergumam memanggil orang tua mereka. Tiga anak itu sekitar umur tujuh tahun. Tak bisa membayangkan bagaimana takutnya seorang anak kecil yang terpisah dengan orang tua mereka. Dan berakhir di tempat yang menakutkan.

Pintu yang tadinya tertutup kini terbuka dengan kasar. Tiga anak kecil itu semakin ketakutan. Orang itu masuk untuk memberikan beberapa bungkus makanan—kini sudah tergeletak di atas lantai yang kotor.

"Jangan nangis terus, itu makanan kalia!"

"Mama," rintih gadis perempuan.

Laki-laki itu berjalan mendekati, ia berjongkok di depan gadis yang saat ini sudah ketakutan. Menjambak rambut anak itu dengan kasar hingga kepalanya mendongak. "Kamu dari kemarin yang nggak bisa diam, ya!"

"Ampun, Om ... sakitt!" Anak itu berteriak kesakitan. Dua temannya yang lain hanya bisa melihat saja. Mereka juga takut diperlakukan hal yang serupa.

"Makanya diam!"

Anak itu langsung saja merapatkan mulutnya, namun terus saja menangis tanpa suara.

"Kalian tahu?" bentak sosok itu menatap ketiga anak di hadapannya. "Kalian habis ini akan berada di surga. Jadi buat apa menangis? Lupakan orang tua kalian!" Laki-laki itu tertawa pelan. Ia menghempaskan kepala anak yang tadi ia jambak rambutnya.

Tatapanya beralih pada nasi bungkus yang ia bawa. Tangannya membuka nasi bungkus itu—berisi nasi dan telur.

"Makan!" Laki-laki itu memerintah dengan nada membentak. Ketiga anak itu masih diam tidak bergerak sedikit pun. Hal itu membuat laki-laki serba hitam semakin geram. Ia berdiri dan menarik paksa ketiga anak itu mendekat di mana nasi bungkus berada.

"Ampun, Om," kata salah satu dari anak-anak malang itu.

*****

"Gimana perasaan lo, Vla?" tanya Ardanu pada Stevlanka yang berada di sampingnya. Duduk berdampingan menghadap hamparan langit malam pekat. Ardanu memandang gadis itu dari samping. Rambut pajangnya tergerak karena embusan angin membuat Ardanu kesuitan melihat wajah gadis itu dengan jelas. Ardanu menahan tangannya untuk tidak mengikatnya.

"Lebih baik," jawab Stevlanka tersenyum pada Ardanu.

"Paling enggak lo udah bisa melawan kecemasan itu, ya walaupun di sini bukan gelap sepenuhnya. Kita pelan-pelan aja, gue yakin lo bisa sembuh nanti," kata Ardanu semangat.

Stevlanka menatap Ardanu dengan lekat. Kesungguhan yang tersirat di mata Ardanu benar-benar tulus. Stevlanka seolah terpaku enggan berpaling. Semakin hari Ardanu semakin menarik Stevlanka lebih dalam. Masuk dalam keadaan berselimut ketenangan. Saat bersama Ardanu, Stevlanka melupakan apa pun rasa sakitnya. Di dalam kegelapan pun, Stevlanka sanggup jika bersama Ardanu. Stevlanka takut apa yang ia rasakan ini adalah rasa ketergantungan.

"Sebelumnya gue pernah muncul di hidup lo, ya, Dan?"

"Maksudnya?"

"Apa tanpa gue sadari gue nolong lo atau membantu lo, gitu?" Stevlanka menggigit bibirnya. "Lo seperti sedang membalas budi ke gue."

DELUSIONSWhere stories live. Discover now