Chapter 39 - Terdesak

73 12 14
                                    


Terdesak

"Gue merasa jadi anak durhaka yang mengantarkan orang tua gue ke maut! Semua karena lo! Ardanu, semua karena lo!"- Stevlanka.

Memiliki gift melihat sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang adalah satu yang paling menggetarkan. Apa yang diperlihatkan seolah suatu tanggung jawab. Lebih hati-hati dalam setiap langkah. Ardanu memahami kemampuan ini sejak sepuluh tahun yang lalu. Kejadian begitu buruk hingga membuat penyesalan yang tak berkesudahan. Penyesalan yang telah mengendap sulit untuk dilarutkan. Ingin rasanya kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Ia memilih untuk diam meskipun ia mengetahui semuanya—apa yang akan terjadi.

Ardanu bangun dari mimpi yang begitu mengerikan. Wajahnya begitu pucat. Cairan bening keluar dari sudut matanya. Mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh depalan menit. Ardanu melebarkan matanya, ia langsung melompat dari sofa menuju kamar Stevlanka. Apa yang terjadi di mimpi ia rasa akan terjadi beberapa menit lagi. Hal gila itu tidak akan tejadi. Ardanu bersumpah itu akan hanya menjadi mimpi buruk.

Pintu tebuka dengan kasar. Tepat di belakang pintu ada Stevlanka yang ternyata berniat untuk keluar. Tanpa banyak bicara Ardanu memeluk gadis itu dengan sangat erat. Mengusap rambut panjang Stevlanka. Laki-laki itu menghela napas dengan teramat lega. Ia bersyukur bangun dari mimpi itu di saat yang tepat. Entah apa yang terjadi dengan Stevlanka hingga membuatnya terbangun dan pergi begitu saja hingga hal mengerikan itu terjadi.

Stevlanka membalas pelukan itu. Ia menyusupkan wajahnya pada dada bidang Ardanu. Pelukan itu seolah memberikan hidup bagi Stevlanka. Dekapan hangatnya mengenyahkan perasaannya yang tidak karuan. "Ardanu?"

Ardanu melepaskan pelukannya. Tangan Stevlanka turun, lalu melingkar pada pinggang Ardanu. Laki-laki itu Menangkup wajah Stevlanka yang sama pucat dengan wajahnya. "Lo nggak boleh pergi," katanya seraya menggeleng. Stevlanka melihat kecemasan di mata Ardanu. "Lo harus tetep di sini, gue nggak akan membiarkan lo keluar."

Merasa semakin aneh, Stevlanka mengerutkan dahinya. "Apa ... ada sesuatu?"

Ardanu kembali tersadar. Jika ia mengatakannya akan semakin membuat Stevlanka ketakutan. Ia memilih untuk tidak menceritakannya terlebih dahulu. Sebisa mungkin Ardanu mengendalikan raut wajahnya. Menghela napas. "Apa yang membuat lo bangun?"

Stevlanka terdiam.

"Lo mimpi lagi?"

Gadis itu menggigit bibirnya yang sedikit bergetar, berusaha untuk menahan air matanya yang ingin meluap. Tetapi, Stevlanka justru mengatakan, "Dahi lo apa masih sakit? Gue minta maaf karena udah—"

"Mimpi apa?"

Stevlanka menghela napasnya, kepalanya menunduk melihat tangannya sendiri yang masih belum pindah dari pinggang Ardanu. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak terucap. Ardanu berpikir untuk memberikan waktu pada Stevlanka. Belum sempat mengusap air matanya, kepala Stevlanka perlahan terangkat karena Ardanu menangkup rahangnya. Mereka kini saling menatap. Ardanu menyisir rambut Stevlanka di belakang telinga, kemudian mengusap air mata Stevlanka.

"Gue boleh minta sesuatu, nggak?" tanyanya pada Stevlanka. Gadis itu hanya menunggu Ardanu mengucapkan kalimat selanjutanya.

"Kenyangin gue."

Stevlanka mengerjap. "A-apa?"

"Bikinin gue mi instan, gue laper," kata Ardanu sambil terkekeh pelan.

"Oh, bikin mi," gumam Stevlanka. Ia ingin mengindahkan tubuhnya dari Ardanu, tetapi laki-laki itu menahannya. Ardanu memberikan senyum jahil. Stevlanka menghela napasnya sebelum mengatakan, "Sekarang kapan lo lepas tangan lo itu?"

DELUSIONSWhere stories live. Discover now