Chapter 13 - Gamang

127 41 30
                                    

Gamang

"Gue nggak segila itu membiarkan lo sendiri. Lo terluka gue juga. Atau kalau perlu gue aja dan lo enggak."- Ardanu.

Gadis kecil yang berambut panjang itu tengah terduduk ketakutan di kamar mandi yang terkunci. Tubuh kurusnya menggigil kedinginan. Bajunya yang basah hingga rambut. Kulitnya mengerut dan memucat. Bibirnya membiru. Seluruh tubuhnya seakan mati rasa. Hanya karena kesalahan yang sepenuhnya bukan karena dirinya, tetapi dirinyalah yang harus menanggung. Ayah dan saudaranya bahkan tidak mengetahui jika ia merasakan seperti di neraka. Mereka berpikir bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah sekian lama, pintu kamar mandi itu terbuka, muncul seorang wanita yang menatapnya tanpa belas kasihan. "Bangun!" pintanya secara kasar.

"Mama, Era kedinginan, Ma," rintih gadis kecil itu seraya memeluk tubuhnya.

"Kamu pikir Mama kasihan sama kamu?" tanya Sang Mama. Ia menyalakan shower hingga membuat Era kembali basah. Air mata gadis kecil itu bercampur dengan guyuran air. Wanita itu menarik kasar tangan gadis kecil yang bernama Era itu hingga terhuyung-huyung.

"Kalau kamu bilang sama Nanu atau Papa, Mama akan kasih kamu hukuman yang jauh lebih parah."

Era menangis sesegukan, Mamanya seperti monster baginya. Wanita itu keluar dari kamar mandi. Era mengepalkan tangannya menatap kepergian sang Mama. Setelah ia berganti baju lengan panjang ia duduk di atas ranjang yang berbalut seprai berkarakter hello kitty.

Tak lama suara terdengar suara mobil, pasti itu Papa dan Nanu. Era keluar kamar untuk menyambut mereka. Kini mereka tengah duduk di meja makan untuk makan bersama. Era tak berani menatap mata Nanu yang sedari tadi menatapnya.

"Era, kamu sakit?" tanya Nanu polos. Era mendongak.

"Tentu saja tidak, anak manis ini tadi membantu Mama menyiapkan hidangan ini Nanu," sahut Mamanya mengelus rambut Era, hingga kemudian berubah menjadi cengkraman. Tentu saja tidaka ada yang menyadarinya. Mama duduk di samping Era. Semantara Nanu dan Papa duduk di hadapannya.

"Benarkah? Itu hebat, Era," sahut Papa tersenyum. Era menatap mamanya, kemudian beralih pada Nanu dan Papanya. Ia tersenyum terpaksa. Papa meletakkan sendok dan garpunya. "Era, boleh Papa tanya?" Era balas dengan anggukan.

"Kenapa kamu melakukan hal itu di sekolah? Apa benar itu perbuatan kamu?" tanya Papa dengan nada lembut. Era menundukkan kepalanya. "Sayang, kalau kamu seperti itu kamu tidak akan memiliki teman. Ini bukan yang pertama kalinya, Era. Kalau kamu begini terus Papa terpaksa akan membawa kamu ke—"

"Papa," sela Nanu. "Papa nggak boleh bawa Era ke mana-mana. Era akan terus bersama Nanu."

Dengan lambat Stevlanka membuka matanya. Langit-langit yang berwarna putih terang menyambut penglihatannya. Gadis itu menghela napas panjang, mengubah posisinya menjadi duduk.

"Mereka lagi?" gumam Stevlanka. Ia memejamkan matanya sebentar. "Mereka nggak ada hubungannya dengan Caya, siapa mereka sebenarnya? Bahkan siapa yang menyakiti Caya aja belum gue temukan." Stevlanka mengusap rambutnya. Semakin sering ia mendapatkan mimpi-mimpi seperti itu. Beranjak dari ranjangnya dengan lesu.

Setelah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Saat ini Ia tengah duduk di meja makan berhadapan dengan Ayahnya. Mereka memakan sarapan masing-masing dalam diam. Sesekali Stevlanka melirik Ayahnya. Namun pria itu seolah tidak menganggapnya ada.

Suara ponsel Stevlanka mengalihkan pandangannya. Stevlanka meraih ponselnya, melihat pesan yang masuk.

Ardanu.

DELUSIONSWhere stories live. Discover now