Chapter 18 - Cela

88 32 23
                                    

Cela

"Semakin hari gue semakin menjadi orang yang munafik. Siapa yang akan menerima gue?" – Stevlanka.

"Maaf," ucap Alkar memecahkan keheningan di dalam mobil. Ia menepikan mobilnya di jalan. Pandangannya lurus ke depan tanpa menoleh Caya yang berada di sampingnya. Gadis itu menunduk sambil menangis. Ini adalah pertama kalinya setelah dua tahun mereka tidak saling berhubungan. Sekedar menatap pun tidak apa lagi berbicara. Alkar benar-benar melepaskan Caya, gadis yang ia cintai. Tetapi cinta yang ia berikan dengan cara yang salah. Hanya karena takut sendirian, Alkar berusaha mempertahankan Caya dengan cara apa pun.

"Gue pikir lo yang memberitahu Stevlanka." Ia menoleh ke arah Caya. "Caya ...." Alkar berusaha meraih tangan gadis itu, namun ia menghindar. Ia menyudutkan tubuhnya ke pintu mobil. Gadis itu takut dan Alkar menyadarinya.

"Gue nggak akan nyakitin lo, gue udah janji, kan, dulu? Gue udah nggak naruh harapan apa pun ke lo. Gue membawa lo ke gudang itu cuma pengin—"

"Lo nggak akan pernah berubah, Al. Bagaimanapun cara lo untuk berusaha menjadi baik akan tetap ada di mana lo lepas kendali dan kembali melukai orang-orang," sela Caya. "Hasrat itu akan semakin besar karena lo menahannya selama ini."

Alkar bergeming. Dadanya terasa sesak mendengarkan ucapan Caya. Rahangnya mengeras menatap Caya dari samping.

"Kalau gue bilang ke orang-orang alasan gue ingin mengakhiri hidup itu adalah lo, apa lo akan bunuh gue?" tanya Caya menoleh pada Alkar. "Lo berniat mau bunuh gue malam ini, kan, Al?"

"Lo masih hidup di balik topeng itu, hati lo, pikiran lo, semuanya dari lo masih belum bersih!" Mata Caya berubah tajam. "Masih ada satu nyawa lagi yang akan menjadi jawabannya. Lo Alkar yang baru atau lo masih Alkar yang berengsek!"

"Itu yang lo pikirkan tentang gue?"

"Ya, gue harus mikir apa lagi?" sahut Caya cepat. "Kalau lo udah berubah lo nggak akan melukai Ardanu atau Stevlanka. Stevlanka benar, kalau masa lalu kita itu belum selesai. Lo harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan lo."

Alkar mengalihkan pandangannya. Ia mencengkram setir mobil hingga buku-buku jarinya memutih.

"Lo nggak bisa melangkah ke sana untuk memperbaiki semuanya, kan? Setidaknya kalau lo nggak bisa jangan melukai Vla atau siapa pun lagi, Al."

"Dan Vla yang akan membuka semua kejahatan gue, gitu?"

*****

"Alkar, enggak ... jangan." Stevlanka menggelengkan kepalanya. Ia membagi tatapannya dari Alkar dan pintu yang ada di belakangnya. Stevlanka mencoba membuka, tetapi terkunci.

"Gue udah nggak bisa menghentikan tangan gue, Vla."

Gue nggak mau mati konyol di sini, pikir Stevlanka. Ia menghindar dari Alkar. Melempar apa pun yang berada di sekitarnya. Hingga ia terhimpit di sudut ruangan. Tidak ada yang bisa Stevlanka selain menangisi kebodohannya. Ia seperti orang yang menunggu pisau itu menghujamnya.

Alkar semakin mendekatkan langkahnya. Dengan cepat Alkar mengayunkan benda tajam di tangannya itu. Ia melakukannya tanpa kira-kira. Tatapannya tertuju pada Stevlanka, dan dibalas oleh gadis itu. Wajah yang yang sudah memucat. Tidak ada air mata yang keluar. Tubuhnya gemetar. Di bawah sana Stevalnka menahan tangan Alkar. Laki-laki itu terus mendorong.

Stevlanka menundukkan kepalanya. Sedikit saja ujung pisau itu sudah di depan perutnya. Alkar menarik tanganya ke belakang, sehingga tangan Stevlanka tepat mengenai mata pisau itu. Tangan kirinya menggenggam bagian tajamnya. Stevlanka tidak bisa merasakan apa pun, lama-lama tangannya menjadi basah berlumur darah.

DELUSIONSWhere stories live. Discover now