Chapter 42 - Delusi

67 12 17
                                    

Delusi

"Untuk pertama kalinya gue berharap kedatangan lo saat ini adalah delusi gue." - Stevlanka.

Pada awalnya begitu sempurna. Hari-hari berlalu begitu indah. Tidak ada sedikit pun merasa ingin menyudahi setiap detiknya. Hingga perlahan berganti dengan penuh kepelikan. Mulai dari berselisih hal kecil hingga menjadi pertengkaran besar. Pada akhirnya perpisahan. Tidak ada kehangatan di dalam rumah padahal sebelumnya tidak. Melihat seorang anak kecil yang mana saudaranya sendiri menahan rasa sakit selama ini. Kepergian orang-orang yang begitu berarti. Ardanu merasakan semuanya. Puncak kepedihannya ketika ia sedang berulang tahun yang ketiga belas. Setelah ia mengakui kebodohannya kepada Ayahnya.

"Selama ini Nanu tahu kalau Era selalu dipukul Mama, Pa. Tapi, Nanu cuma diam aja. Dan Nanu juga tahu kalau Mama akan mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu. Di mimpi Nanu, Mama akan pergi ke toko kue pada saat ulang tahun Nanu yang ke-7 tahun. Karena Mama jahat selama ini, jadi Nanu hanya diam."

"Dan membiarkan Saudara kamu celaka?"

"Itu yang masih Nanu sesali. Nanu nggak tahu kalau Era akan ikut Mama karena di mimpi Nanu tidak ada Era."

"Percuma kamu menyesal. Penyesalan kamu tidak akan mengembalikan Saudara kamu. Papa tidak peduli dengan Mama kamu, tapi Era ... dia sudah menderita selama ini. Dengan bodohnya Papa tidak mengetahui apa pun," sesal Ganendra. "Setelah kamu mengetahui kebusukan Mama kamu, kenapa hanya diam saja? Jawab Papa, Ardanu!"

Ardanu mengingat dengan benar ucapan kekecewaan Papanya dulu. Dengan penuh kemarahan Papanya pergi meninggalkannya sendiri. Ia menangis di hadapan kue pemberian Papanya beberapa saat yang lalu. Lilin yang belum sempat ia padamkan, meleleh dengan sendirinya. Hari ulang tahun yang begitu buruk. Entah bagaimana bisa, semakin bertambah umurnya selalu ada saja rasa sakit yang hadir. Rasa sakit itu semakin sempurna setelah telepon rumahnya berdering. Dari ujung sana ada seorang polisi yang mengatakan jika Ayahnya tewas karena kecelakaan. Ardanu benar-benar hancur.

Air mata menetes dari sudut matanya. Seragam yang masih melekat sempurna. Setelah pulang sekolah tadi ia merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Di mana terakhir kali Papanya marah besar. Ketika lilin ulang tahun dinyalakan. Dan di sini pula kehancuran hidupnya di mulai.

"Ardanu, jangan bikin keadaan semakin menyakitkan, gue nggak bisa sama lo. Dan lo nggak bisa sama gue. Kita nggak bisa sama-sama."

Ucapan Stevlanka di atap sekolah begitu menghantuinya. Selama lima tahun, hari-harinya benar-benar hanya untuk menunggu kedatangan Stevlanka. Ternyata kehadiran Stevlanka di saat ulang tahunnya yang kedelapan belas. Ardanu percaya apa pun yang terjadi pasti ada alasannya. Kehadiran Stevlanka bukan sekedar kebetulan. Semuanya seperti sudah direncanakan oleh Tuhan

Ardanu tidak memiliki siapa pun. Hanya Stevlanka di hidupnya. Selama ini ia bertahan meskipun ada banyak alasan untuk pergi. Semenjak Stevlanka hadir di mimpinya lima tahun yang lalu, Ardanu berjanji akan menjadikan Stevlanka seseorang yang berharga. Itu janji yang telah ia ucapkan. Janji itu menjadi alasannya bertahan. Bukan karena terpaksa, melainkan benar-benar dari hati. Ia tulus melakukannya untuk Stevlanka. Sekarang ia sadar semakin lama, perasaannya semakin bertambah besar.

Terlalu sering Stevlanka memintanya untuk pergi. Berkali-kali seolah ingin memutuskan janji yang Ardanu buat. Dan Ardanu memilih bertahan. Sekarang, Ardanu bertanya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak tahu pilihan apa yang akan ia ambil. Ardanu ragu. Percuma saja di sini ia mati-matian berjuang, jika seseorang yang diperjuangkan menyuruhnya untuk berhenti. Ardanu berharap ia bisa melihat masa depannya. Apakah Stevlanka ada bersamanya suatu saat nanti.

Matanya terpaksa terbuka mendengar ponselnya berdering. Ia mengubah posisinya menjadi duduk.

"Halo!" serunya tidak bertenaga. Ia tampak mendengarkan seseorang yang berbicara di sana. Tiba-tiba tubuhnya menegak. Matanya melebar karena terkejut. "Saya ke sana sekarang."

DELUSIONSWhere stories live. Discover now