Chapter 26 - Jengah

71 24 13
                                    

Jengah

"Lo selalu aja pergi ninggalin gue. Segitu susahnya ya untuk ngertiin lo?"- Ardanu

Sesuatu yang mengganjal dalam hati, tidak tahu caranya untuk mengungkapkan, mengeluarkan atau bahkan menjabarkan. Dengan sangat perlahan, kalimat itu terus mengahantui Stevlanka sejak kemarin pagi. Jika dipikir-pikir lagi, Ardanu sering mengatakan hal lelucon yang menunjukkan bahwa ia menyukai Stevlanka. Dan Stevlanka tidak pernah mengangap serius apa yang diucapkan Ardanu. Namun, kenapa ucapan Ardanu kemarin pagi di taman membuat Stevlanka memikirkannya terus-terus.

Setiap kali Stevlanka diam, telinganya terngiang suara Ardanu. Dan itu yang Stevlanka mengerjakan semua tugas sekolahnya hingga larut malam. Ia melakukan itu semua demi pengalihan pikirannya dari Ardanu. Stevlanka tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Dan ini benar-benar mengganggu.

"Apa kamu akan terus mengaduk makanan tanpa memakannya?" suara itu mengerjapkan mata Stevlanka.

Tanpa membalas ucapan Ayahnya, Stevlanka mulai memakan sarapannya. Hanya beberapa suap, waktunya sudah terbuang karena memikirkan Ardanu. Stevlanka mendesah di dalam hati. Ardanu selalu merepotkan.

Stevlanka dan Ayahnya berjalan menuju ke pintu utama. Stevlanka mengikuti Ayahnya dari belakang. Tepat ketika Satriya membuka pintu, bukannya melangkahkan kaki namun malah terdiam tidak bergerak. Stevlanka menggeser sedikit tubuhnya ke samping untuk melihat apa yang menghentikan langkahnya.

Stevlanka membelalakkan matanya. "Ardanu?" gumam Stevlanka. Gadis itu tampak kebingungan. Menatap sang Ayah dengan Ardanu secara bergantian.

Ardanu tersenyum pada Stevlanka kemudian beralih pada Striya. Ia menundukkan kepalanya dan berkata, "Pagi, Om!"

"Ada apa?" tanya Satriya.

"Saya mau jemput Vla, buat ke sekolah bareng," kata Ardanu dengan percaya diri. Ia tidak memikirkan jika pria itu akan menolaknya. Sementara Stevlanka bernapas gelisah karena takut Ayahnya akan marah besar.

"Ardanu, gue udah mau berangkat sama Ayah. Lo nggak perlu jemput gue," kata Stevlanka ragu, matanya melirik Ayahnya.

"Boleh, kan, Om?" tanya Ardanu yang mengabaikan ucapan Stevlanka.

"Ardanu—"

"Boleh," potong Satriya. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangannya, kemudian beralih pada Stevlanka. "Ayah berangkat." Setelah mengatakannya, pria itu meninggalkan Ardanu dan Stevlanka.

Ardanu tersenyum senang setelah kepergian Satriya. Ia memandang Stevlanka yang masih termenung. Tangan Ardanu terangkat mendorong dagu Stevlanka ke atas karena mulutnya terbuka.

"Dimasukin nyamuk!"

Sontak Stevlanka menyentuh bibirnya. Menatap tajam laki-laki di hadapannya. "Kenapa lo jemput gue, sih? Kalau Ayah gue marah gimana? Gue itu udah nggak pernah ngomong ya sama Ayah, gimana kalau Ayah makin marah? Gue, kan, tersiksanya makin parah," keluh Stevlanka.

"Lo liat Ayah lo tadi marah, nggak? Nggak, kan?" balas Ardnau. "Soal lo ngomong apa enggak itu, sih, salah lo. Kenapa lo nggak coba buat mengubah sikap lo? lebih santai gitu, seharusnya lo lebih ngerti kerakter Ayah lo sendiri."

Tatapan Stevlanka berubah menjadi dingin. Ardanu menyadari hal itu. Ia menelan salivanya. Tatapan Stevlanka benar-benar tidak bersahabat. Mulut Ardanu terbuka ingin mengatakan sesuatu, tetapi Stevlanka lebih dulu memotongnya.

"Lo bisa ngomong dengan mudah, Dan."

Ardanu ingin sekali menepuk mulutnya. Pasti ucapannya tadi sudah menyinggung perasaan Stevlanka.

DELUSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang