Chapter 3 - Diluar terkaan

173 79 48
                                    

Di luar terkaan

"Hati-hati, nggak selamanya ada gue yang bakal nolong lo kaya tadi."- Alkar

Dering Alarm membuat Stevlanka mengerjapkan mata. Menyingkap selimut tebalnya, lalu bangkit. Saat hendak berdiri dari tempat tidur, Stevlanka menatap album foto di atas nakas. Tampak sepasang suami istri dan gadis kecil tersenyum bahagia. Bibir ikut Stevlanka tersenyum.

Menghela napas sejenak, kemudian ia bergegas untuk bersiap-siap. Setelah tiga hari pengurusan berkas kepindahan sekolahnya, hari ini adalah hari pertamanya bersekolah di sekolah yang baru. Ada sedikit rasa khawatir yang menyelimuti relung hatinya. Apakah akan sama seperti sekolahnya yang dulu? Di mana tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Lebih menyedihkan lagi jika insiden yang kemarin akan menyebar. Namun ini adalah pilihannya, apa pun yang terjadi adalah konsekuensi yang harus ia terima. Semua akan baik-baik saja.

Setelah selesai, Stevlanka keluar kamar. Menuju ruang makan. Dengan seragam yang sangat rapi. Rambut tergerai panjang dengan poni tipis menutupi dahinya.

Sesampai di meja makan, ia mengedarkan pandangannya. Ia tidak melihat Ayahnya. Memandang jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Bukankah seharusnya Ayahnya sudah sarapan?

Beberapa helai roti dengan selai coklat di tambah lagi segelas susu. Hanya itulah yang ada di atas meja. Sekali lagi ia mengedarkan tatapannya.

"Ayah!" seru Stevlanka yang menggema di dalam ruangan. Ketika hendak beranjak menuju kamar Ayahnya, sebuah pesan masuk di ponselnya.

Makan sarapanmu, Ayah sudah berangkat kerja. Ayah juga sudah memesankan taksi di depan rumah. Dan satu lagi, jangan melakukan hal-hal yang aneh. Cukup bersekolah dan langsung pulang.

Stevlanka membaca pesan itu dari Ayahnya. Ternyata Ayahnya sudah berangkat kerja. Padahal ia ingin Ayahnya yang mengantarkan di sekolah barunya. Namun, sepertinya pria itu lebih mementingkan klien-kliennya. Satriya adalah seorang jaksa. Terkadang pria itu berangkat pagi dan pulang hingga larut malam.

Stevlanka tersenyum terpaksa menatap helai roti di atas piring. Tak butuh waktu lama ia keluar rumah, dan menaiki taksi yang sudah Ayahnya pesankan menuju ke sekolahnya yang baru.

Beberapa menit kemudian taksi yang ia tumpangi berhenti di sebuah gedung tinggi. Dari dalam taksi ia bisa melihat banyak siswa yang berlarian masuk melewati gerbang. Ia tersenyum sekilas, berterima kasih pada supir taksi.

'SMA ANGKASA BIRU'

Stevlanka mengeja tanpa suara. Melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Berjalan menyusuri koridor, matanya memandang kanan kirinya. Semua yang dominan berwarna biru seperti nama sekolahnya. Sedari tadi ia berjalan tidak menemukan ruangan kepala sekolah. Siswa yang berada di luar kelas menatapnya, hal itu wajar saja. Seperti murid baru pada umumnya. Mendadak menjadi sorotan banyak pasang mata. Yang menjengkelkan adalah dimana letak ruang Kepala Sekolah. Jika saja ia berangakat dengan Ayahnya mungkin akan lebih mudah.

Mata Stevlanka tertuju pada anak tangga di hadapannya. Apa mungkin ruang kepala sekolah ada di lantai atas?

Stevlanka membenarkan saja asumsinya. Satu demi satu ia memijak anak tangga itu. Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih lima puluh lima menit. Gadis itu mempercepatkan langkah kakinya. Namun karena tidak melihat ke arah depan, tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang. Hampir saja ia terjatuh jika saja seseorang yang ia tabrak tidak menarik tangannya.

Stevlanka meneguk salivanya, menatap anak tangga di bawahnya. Entah apa yang terjadi jika ia jatuh di sana. Perlahan kepalanya teralih menatap seseorang yang menahan tubuhnya. Laki-laki tinggi yang menatapnya lekat. Mata mereka bertemu sejenak. Setelah sadar, Stevlanka menegakkan tubuhnya. Merapikan seragamnya.

DELUSIONSWhere stories live. Discover now