Chapter 25 - Berdebar

86 25 33
                                    

Berdebar

"Vla, gue nggak main-main. Gue serius kali ini. Biarin gue jadi seseorang yang penting di hidup lo. Sesuatu yang bikin seolah lo nggak bisa pergi dari gue."- Ardanu.

Kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidup memang sungguh menyiksa. Seolah ingin memberontak pada Sang Pencipta. Air mata tak sanggup lagi menetes. Memikirkannya saja seperti teriris pisau tajam. Begitu perih.

Laki-laki itu berada di sebuah kamar yang cukup luas. Fasilitas yang cukup lengkap. Meraih album foto yang tampak seorang anak kecil tersenyum lebar dengan mobil mainan di tangannya. Bara tersenyum nanar seraya mengusap album foto itu.

"Dek, kamu di mana?" gumam Bara. "Maafin kakak yang nggak bisa jagain kamu ...."

"Bara!" teriak Bu Mila dari luar kamar. "Polisi sudah menemukan Biyan," kata wanita itu yang berada di ambang pintu. Mendengar ucapan Sang Mama, membuat laki-laki itu beranjak dari duduknya. Bibirnya perlahan tersenyum.

"Ayo, ke kantor polisi sekarang, Biyan pasti sudah menunggu."

Tanpa menunggu apa pun mereka menuju ke kantor polisi. Dengan perasaan yang amat bahagia. Dua hari ia kehilangan adiknya merasa hidup tidak berguna. Dan Tuhan masih memberinya kesempatan itu.

"Mama, Kak Bara," panggil Biyan ketika melihat Mama dan Kakaknya yang baru melangkah dari pintu kantor polisi. Mereka mendekati Biyan dengan mata yang berkaca-kaca. Apa lagi ketika melihat kaki Biyan yang terbalut kain kasa.

"Sayang kamu nggak papa?" tanya sang Mama mengelus rambut Biyan. "Kaki kamu ...."

"Biyan nggak papa Ma, Kak, tadi Biyan ditolong sama dua Kakak. Satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka bertengkar kaya di film-film gitu."

"Syukurlah," seru Bara mengacak rambut Biyan.

*****

Di akhir pekan ini menjadi hari yang cukup cerah. Stevlanka, gadis itu sudah lama tidak berolahraga. Ia memilih untuk lari pagi di taman dekat rumahnya. Cukup banyak orang yang memilih tempat ini. Tumbuhan hijau seperti memanjakan mata.

Untuk para murid yang setiap harinya bermesraan bersama buku, kemudian beralih berdua dengan tugas sekolah, tak ada salahnya untuk meluangkan waktu untuk lari pagi di akhir pekan. Sudah hampir setengah jam Stevlanka berlari santai. Menghirup udara di taman ini.

Sebelum tiba-tiba larinya terhenti karena melihat seseorang di depannya dengan jarak beberapa meter yang telah tersenyum seraya melambaikan tangannya. Dari arah yang berlawanan, laki-laki itu berjalan mendekati Stevlanka. Gadis itu masih berwajah datar hingga Ardanu berada di depannya.

"Hai, cewek langka!" seru Ardanu. "Kita jodoh banget, ya?" Ia tersenyum senang memperlihatkan deretan giginya.

Tak ada balasan dari Stevlanka, tiba-tiba gadis itu melayangkan pukulan pada lengan Ardanu berulang kali. Ardanu memundurkan langkah kakinya, tangannya dengan sigap menangkis serangan dari Stevlanka.

"Aduh, ada apa, sih, Vla??" tanya Ardanu, yang masih menghindar dari serangan gadis itu.

Stevlanka menghentikan pukulannya. "Lo bohongin gue, kan?"

"Kenapa lo nggak jujur aja kemarin?" tanya Stevlanka sedikit berteriak. "Lo pasti udah liat kejadian semalam di mimpi lo? Soal peneror itu datang ke rumah gue. Kenapa harus bohong? Lo bisa, kan, bilang jujur ke gue, gimana kalo Ayah yang jadi korban semalam?"

"Ternyata lo sadar," ujar Ardanu lirih. Stevlanka menghela napasnya, menatap tajam laki-laki di hadapannya. "Tapi, Ayah lo nggak papa, kan? Gue udah berani pastiin. Gue nggak mungkin lah jadiin Ayah lo sasaran peneror itu."

DELUSIONSWhere stories live. Discover now